Nelayan vs Korporasi: Ketika Laut Bukan Lagi Milik Rakyat

Hayuning Ratri Hapsari | Sabit Dyuta
Nelayan vs Korporasi: Ketika Laut Bukan Lagi Milik Rakyat
Ilustrasi kegiatan para nelayan di laut (Pexels/GEORGE DESIPRIS)

Laut seharusnya menjadi ruang hidup bagi semua, bukan segelintir orang. Namun, apa jadinya jika perairan yang seharusnya menjadi sumber penghidupan nelayan malah diprivatisasi oleh korporasi?

Inilah yang terjadi di pesisir Tangerang, Banten. Pagar laut sepanjang lebih dari 30 kilometer berdiri kokoh, menghalangi akses nelayan yang selama ini menggantungkan hidup dari hasil tangkapan mereka. Seakan-akan laut bukan lagi milik rakyat, melainkan milik segelintir pihak yang berkuasa.

Temuan ini bukan perkara kecil. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama pemerintah daerah menemukan bahwa ada ratusan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang mencakup wilayah perairan. 

Menteri ATR/BPN Nusron Wahid mengungkapkan bahwa sertifikat ini dikeluarkan di luar garis pantai dan berpotensi dicabut karena melanggar aturan. Namun, bagaimana mungkin sertifikat seperti itu bisa terbit sejak awal? Apakah tidak ada yang mengawasi?

Bukan rahasia lagi bahwa di negeri ini, penguasaan ruang oleh korporasi kerap berjalan mulus, sementara rakyat kecil harus berjuang hanya untuk mempertahankan hak mereka.

Nelayan di sekitar pagar laut ini mengaku harus menempuh jarak lebih jauh demi mencari ikan, yang tentu saja meningkatkan biaya bahan bakar dan menurunkan pendapatan mereka. Tak hanya itu, ekosistem pesisir pun terganggu akibat pembatasan akses yang seharusnya tidak pernah terjadi.

Sikap diam dari berbagai lembaga sebelum kasus ini mencuat menimbulkan pertanyaan besar. Jika bukan karena sorotan publik, akankah pagar laut ini tetap berdiri tanpa ada yang peduli?

DPR bahkan baru bersuara lantang setelah kasus ini ramai dibahas di media. Mereka meminta penyelidikan lebih lanjut dan penindakan hukum bagi pihak yang bertanggung jawab.

Namun, akankah ini benar-benar diselesaikan dengan transparan, atau hanya akan menjadi kasus yang berlalu tanpa konsekuensi?

Kasus pagar laut ini mencerminkan ketimpangan struktural yang sudah berlangsung lama. Privatisasi ruang publik atas nama investasi semakin menjadi-jadi, sementara rakyat yang menggantungkan hidupnya dari sumber daya alam semakin terpinggirkan.

Jika hal seperti ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin laut—seperti halnya tanah—akan semakin sulit diakses oleh mereka yang seharusnya paling berhak atasnya.

Terlalu lama ketidakadilan semacam ini terjadi. Laut bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal identitas dan kehidupan masyarakat pesisir. Jika pagar laut ini bisa berdiri begitu saja tanpa ada yang menggugat sejak awal, lantas apa jaminannya bahwa kasus serupa tidak akan terjadi di tempat lain?

Pemerintah boleh berjanji akan menindak tegas, tetapi selama tidak ada tindakan nyata yang memastikan keadilan, janji itu tak lebih dari sekadar kata-kata yang hanyut ditelan ombak.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak