Penelitian "Resilience and Negotiation: Ancestral Belief Adherents Facing Discrimination in Indonesia" oleh Benjamin Haryono dan Susana Tjipto, yang diterbitkan dalam Jurnal Psikologi pada tahun 2024, menawarkan wawasan mendalam mengenai dinamika yang dihadapi oleh penganut kepercayaan leluhur di Indonesia dalam menghadapi diskriminasi yang terus berlanjut.
Dalam tulisan ini, penulis menggali bagaimana ketahanan psikologis dan proses negosiasi yang dilakukan oleh individu yang menganut kepercayaan tradisional ini berperan dalam mendukung pemberdayaan diri dan kesejahteraan mereka, meskipun sering kali berada dalam posisi yang terpinggirkan oleh negara dan masyarakat luas.
Kepercayaan leluhur di Indonesia telah menjadi bagian penting dari keragaman budaya bangsa ini, namun pada saat yang sama, penganutnya telah lama mengalami diskriminasi sistemik.
Negara Indonesia hanya mengakui enam agama resmi, yaitu Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu, sementara kepercayaan leluhur tidak mendapat pengakuan resmi.
Situasi ini menyebabkan penganut kepercayaan tersebut sering kali terpinggirkan, baik dalam kehidupan sosial, ekonomi, maupun dalam hal hak-hak sipil mereka.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan fenomenologis deskriptif, yang memungkinkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap pengalaman hidup penganut kepercayaan leluhur yang telah lama merasakan fluktuasi dalam pengakuan agama mereka oleh negara.
Dengan memilih tiga informan berusia antara 49 hingga 68 tahun, yang telah melalui pengalaman ini, penulis berhasil menggali bagaimana mereka mengelola tantangan yang muncul akibat ketidakpastian pengakuan tersebut.
Salah satu temuan utama dari penelitian ini adalah pentingnya negosiasi sebagai strategi untuk menghadapi ketimpangan kekuasaan yang ada.
Dua bentuk negosiasi yang ditemukan adalah negosiasi diri dan negosiasi dengan orang lain. Negosiasi diri mencakup pengaturan emosi dan tindakan adaptif terhadap peristiwa hidup yang terjadi.
Ini menunjukkan bagaimana individu dapat mengelola perasaan dan merespons situasi yang penuh tantangan dengan cara yang memungkinkan mereka untuk terus bertahan secara mental dan emosional.
Sementara itu, negosiasi dengan orang lain berfokus pada komunikasi yang efektif serta upaya untuk memperoleh pengakuan hak dan pengakuan secara sosial dan hukum.
Proses negosiasi ini menunjukkan bahwa meskipun negosiasi tersebut tidak selalu mengubah ketimpangan kekuasaan yang ada, hal ini memberikan penganut kepercayaan leluhur cara untuk bertahan hidup dan menjaga martabat mereka di tengah marginalisasi sosial.
Ini adalah bentuk ketahanan yang penting, karena dalam konteks ketidakadilan sosial, mereka belajar untuk beradaptasi dengan lingkungan yang tidak selalu mendukung keberadaan mereka.
Penelitian ini juga mengungkapkan pentingnya gerakan kolektif dalam memperjuangkan hak-hak hukum dan sosial bagi semua agama dan kepercayaan, termasuk kepercayaan leluhur.
Dalam konteks Indonesia, perubahan hukum seperti putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2017 yang memungkinkan penganut kepercayaan leluhur untuk meninggalkan kolom agama pada KTP adalah salah satu langkah positif.
Meskipun demikian, diskriminasi sosial terhadap penganut kepercayaan leluhur masih terus berlangsung, dan hal ini memerlukan perhatian lebih lanjut dari berbagai pihak, termasuk pemerintah dan masyarakat luas.
Ketahanan psikologis yang ditunjukkan oleh penganut kepercayaan leluhur ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa identitas budaya yang kuat dan dukungan komunitas dapat meningkatkan ketahanan individu yang terpinggirkan (Brown & Tylka, 2011; Lee, 2005).
Jaringan dukungan ini sangat krusial mengingat stigma sosial yang terus menerus mereka hadapi. Ini menjadi faktor penting dalam memastikan kesejahteraan mental dan emosional kelompok yang terdiskriminasi, seperti yang juga ditunjukkan dalam penelitian terhadap kelompok marginal lainnya, misalnya pekerja seks transgender yang terpinggirkan (Febriani & Irwanto, 2021).
Lebih lanjut, artikel ini juga menyentuh dampak dari diskriminasi struktural terhadap kesehatan dan kesejahteraan individu yang terpinggirkan, di mana stigma institusional memperburuk ketidaksetaraan sosial dan memperburuk kualitas hidup mereka secara keseluruhan. Diskriminasi ini tidak hanya berdampak pada aspek sosial dan ekonomi, tetapi juga pada kesehatan mental dan fisik mereka.
Oleh karena itu, penelitian ini sangat penting dalam memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana penganut kepercayaan leluhur Indonesia mengembangkan ketahanan mental untuk menghadapi tantangan ini dan mencari cara untuk tetap terhubung dengan identitas budaya mereka meskipun mengalami kesulitan yang luar biasa.
Dalam kesimpulannya, artikel ini menekankan bahwa meskipun pengakuan hukum terhadap kepercayaan leluhur di Indonesia telah mengalami beberapa kemajuan, tantangan utama masih terletak pada diskriminasi sosial yang meluas.
Oleh karena itu, sangat penting untuk terus mendorong perubahan baik dari sisi hukum maupun budaya untuk memastikan bahwa semua kelompok agama dan kepercayaan dapat hidup berdampingan dengan rasa hormat dan pengakuan terhadap keberagaman.
Penelitian ini memberikan kontribusi besar dalam memperkaya pemahaman tentang ketahanan psikologis di tengah diskriminasi, serta membuka jalan bagi pendekatan yang lebih inklusif dalam kebijakan sosial dan hukum di Indonesia.
BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE