Gemuruh takbir menggema, aroma rendang menusuk hidung, senyum hangat keluarga menyambut kedatangan. Lebaran, momen yang seharusnya menjadi oase kebahagiaan setelah sebulan penuh berpuasa.
Tapi tunggu dulu, di balik kemeriahan ini, ada bisikan yang semakin kencang terdengar, yaitu konsumerisme. Apakah kita benar-benar merayakan kemenangan spiritual, atau hanya terjebak dalam pesta belanja yang tak berkesudahan?
Lebaran, jauh dari sekadar perayaan duniawi, adalah momen sakral yang sarat makna. Ini adalah waktu untuk merefleksikan diri, mensyukuri nikmat yang telah diberikan, dan mempererat tali silaturahmi dengan keluarga dan sahabat.
Nilai-nilai seperti maaf-memaafkan, berbagi dengan sesama, dan pengendalian diri menjadi landasan utama perayaan ini. Bukankah puasa Ramadan mengajarkan kita untuk menahan diri dari segala nafsu duniawi, demi mencapai spiritualitas yang lebih tinggi?
Namun, di era modern ini, esensi Lebaran seolah tergerus oleh gelombang konsumerisme yang semakin menggila. Tekanan untuk tampil sempurna di media sosial, dorongan untuk membeli pakaian baru yang branded, serta budaya pamer hampers mewah telah mengubah makna Lebaran menjadi ajang kompetisi materi.
Kita dipaksa untuk mengikuti standar yang tidak realistis, menciptakan kecemasan dan stres yang seharusnya tidak ada di hari kemenangan.
Jean Baudrillard, seorang sosiolog ternama, pernah mengatakan bahwa masyarakat modern hidup dalam "simulacra dan simulasi". Artinya, kita lebih terpaku pada representasi realitas daripada realitas itu sendiri.
Begitu pula dengan Lebaran, kita lebih fokus pada citra ideal yang ditampilkan di media sosial daripada menghayati makna spiritual yang sesungguhnya. Kita membeli barang-barang mewah bukan karena kita membutuhkannya, melainkan karena kita ingin menunjukkan status sosial kita.
Pierre Bourdieu, seorang sosiolog lainnya, juga menjelaskan bahwa konsumsi adalah alat untuk membedakan kelas sosial. Dalam konteks Lebaran, orang-orang berlomba-lomba untuk membeli barang-barang mewah agar dapat menunjukkan bahwa mereka termasuk dalam kelas sosial tertentu.
Hal ini menciptakan kesenjangan sosial yang semakin lebar, karena hanya sebagian kecil masyarakat yang mampu mengikuti tren konsumsi.
Ironisnya, perilaku konsumtif ini justru bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam agama Islam. Islam menganjurkan umatnya untuk hidup sederhana, bersedekah, dan membantu sesama yang membutuhkan.
Namun, selama Lebaran, kita sering kali lupa akan ajaran ini dan lebih memilih untuk menghambur-hamburkan uang demi memenuhi nafsu duniawi.
Lantas, bagaimana cara menjaga keseimbangan di tengah gempuran konsumerisme ini? Pertama-tama, kita perlu merefleksikan diri dan mempertanyakan kembali makna Lebaran bagi kita.
Apakah kita benar-benar merayakan kemenangan spiritual, atau hanya terjebak dalam siklus konsumsi yang tak berujung? Kita perlu memprioritaskan silaturahmi dan kebersamaan daripada materi. Habiskan waktu berkualitas dengan keluarga dan teman, lakukan kegiatan amal, dan berbagi dengan sesama yang membutuhkan.
Selain itu, kita juga perlu menjadi konsumen yang bijak dan bertanggung jawab. Sebelum membeli sesuatu, tanyakan pada diri sendiri: Apakah saya benar-benar membutuhkan barang ini? Apakah ada alternatif yang lebih murah dan ramah lingkungan?
Dengan berbelanja secara cerdas, kita tidak hanya menghemat uang, tetapi juga mengurangi dampak negatif konsumsi terhadap lingkungan dan masyarakat.
Lebaran seharusnya menjadi momen untuk merayakan kemenangan spiritual dan mempererat tali silaturahmi, bukan untuk terjebak dalam konsumerisme yang merusak makna sejati perayaan ini.
Mari rayakan Lebaran dengan cara yang lebih bermakna, berkelanjutan, dan berdampak positif bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Mampukah kita menjaga esensi kemenangan di tengah gempuran konsumerisme? Pilihan ada di tangan kita.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS