Kehidupan Pesisir Indonesia: Antara Keindahan Ombak dan Krisis Nyata

Lintang Siltya Utami | Angelia Cipta RN
Kehidupan Pesisir Indonesia: Antara Keindahan Ombak dan Krisis Nyata
Ilustrasi Kehidupan Pesisir Pantai. (Pexels/Pok Rie)

Ketika berbicara tentang pesisir Indonesia, banyak orang membayangkan pantai indah, wisata bahari, atau deretan perahu warna-warni yang bersandar rapi. Gambaran ini memang nyata, tetapi hanya potongan kecil dari kenyataan.

Di balik itu, masyarakat pesisir hidup dalam kontradiksi yang tajam mereka adalah penjaga garis terdepan ekosistem laut, namun justru menjadi kelompok yang paling sering diabaikan. Suara hijau mereka jarang terdengar sampai akhirnya satu hal terjadi, desa mereka hampir hilang atau sudah tenggelam.

Kita sering lupa bahwa kehidupan pesisir bukan sekadar tentang laut yang biru, tetapi tentang manusia-manusia yang tiap hari bergantung pada laut sambil bertarung dengannya. Ironisnya, ketika isu kerusakan pesisir dan perubahan iklim muncul di media, yang sering dibicarakan adalah angkanya, bukan manusianya.

Seolah-olah abrasi, kenaikan permukaan air laut, atau penurunan tanah hanya statistik yang dingin, padahal ada kehidupan yang terenggut perlahan di sana.

Inilah masalah yang jarang kita bahas tentang cerita dari pesisir, yakni tentang suara masyarakat pesisir perlahan tenggelam, jauh sebelum wilayah mereka ikut hilang.

Budaya Diam yang Membuat Pesisir Semakin Terpinggirkan

Salah satu masalah terbesar dalam isu pesisir adalah ketimpangan suara. Masyarakat pesisir sering dianggap penerima kebijakan, bukan pembuat keputusan.

Padahal, mereka yang paling memahami pergerakan angin, ritme pasang-surut, kondisi terumbu karang, serta tanda-tanda perubahan laut yang tidak tercatat dalam laporan ilmiah mana pun.

Tetapi suara mereka sering kalah oleh wacana besar yang dibawa dari kota wacana industri, pariwisata, reklamasi, atau proyek strategis nasional. Banyak wilayah pesisir berubah tanpa persetujuan penuh dari masyarakatnya.

Lebih buruk lagi, ketika abrasi mulai menggerus rumah mereka, masyarakat pesisir sering dianggap sebagai pihak yang harus mengalah demi pembangunan.

Ketidakadilan ini menciptakan budaya diam. Masyarakat pesisir tidak lagi menyuarakan keresahan karena terbiasa tidak didengar. Banyak nelayan yang kehilangan lahan tambat perahu, tetapi tidak pernah masuk dalam headline.

Banyak perempuan pesisir kehilangan sumber air bersih karena intrusi air laut, tetapi tidak menjadi prioritas program pemerintah. Suara mereka hanya terdengar ketika situasi sudah menjadi darurat.

Padahal, mereka tidak meminta kompensasi besar. Yang mereka minta sederhana, yaitu didengar sebelum semuanya terlambat.

Kehidupan Pesisir Menjadi Korban dari Dua Krisis Alam dan Kebijakan

Masyarakat pesisir mengalami dampak paling cepat dari perubahan iklim. Abrasi memakan dua hingga tiga meter garis pantai setiap tahun di beberapa daerah. Air laut merembes ke sumur-sumur rumah.

Hasil tangkapan ikan menurun karena ekosistem rusak. Namun, krisis yang mereka alami bukan hanya krisis ekologis. Ada krisis kedua yang sama berbahayanya krisis kebijakan.

Sering kali bantuan datang terlambat, atau hanya setelah kejadian katastrofis terjadi. Desa tenggelam baru jadi berita setelah video rumah ambruk terseret ombak viral. Padahal, prosesnya sudah berlangsung bertahun-tahun.

Ketika solusi diberikan, solusi itu kerap seragam, pembangunan tanggul misalnya, padahal tiap daerah punya karakter gelombang dan tanah berbeda. Kebijakan copy–paste seperti ini membuat sebagian wilayah justru semakin rusak.

Selain itu, proyek industri dan reklamasi sering justru memperburuk kondisi. Banyak desa pesisir kehilangan garis pantai bukan hanya karena alam, tetapi karena aktivitas manusia yang tidak mempertimbangkan ekologi lokal.

Sementara itu, masyarakat yang hidup di sana dianggap sebagai angka dalam laporan dampak lingkungan, bukan sebagai manusia yang rumahnya dipertaruhkan.

Jika kita terus memandang pesisir hanya dari sudut pandang ekonomi atau pariwisata, kita akan kehilangan inti permasalahan yakni kita sedang mencabut akar kehidupan sebuah komunitas.

Saatnya Menaikkan Suara yang Terpinggirkan

Untuk menjaga keberlanjutan pesisir Indonesia, kita harus mengubah satu hal mendasar cara kita mendengarkan. Masyarakat pesisir bukan objek. Mereka bukan penerima belas kasihan. Mereka adalah pengetahuan itu sendiri. Mereka adalah saksi pertama perubahan laut yang tidak tercatat dalam satelit mana pun.

Melibatkan mereka secara aktif dalam perencanaan wilayah pesisir bukan hanya adil, tetapi juga efektif. Desa-desa yang kuat secara sosial terbukti lebih tangguh menghadapi perubahan iklim.

Program restorasi mangrove yang berhasil hampir selalu melibatkan warga pesisir, bukan hanya proyek besar yang datang lalu pergi. Begitu pula dengan konservasi terumbu karang berbasis komunitas yang terbukti menghidupkan kembali perairan yang rusak.

Saat kita memberi ruang bagi mereka untuk berbicara, kita tidak hanya menyelamatkan garis pantai, kita juga ikut menyelamatkan identitas.

Pada akhirnya, menjaga pesisir bukan hanya menjaga laut. Ini tentang menjaga manusia yang hidup bersamanya.

Menjaga cerita, kebiasaan, bahasa, tradisi, dan keberanian mereka menghadapi hari-hari yang semakin tidak menentu. Indonesia tidak bisa kehilangan pesisirnya, karena pesisir adalah wajah pertama negeri ini.

Dan langkah pertama untuk menyelamatkannya sangat sederhana, yaitu hanya dengarkan suara yang hampir tenggelam itu, sebelum benar-benar hilang dari kehidupan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak