Jalan Tengah Penjurusan: Menuju Masa Depan Pendidikan Indonesia

Hernawan | Budianto Sutrisno
Jalan Tengah Penjurusan: Menuju Masa Depan Pendidikan Indonesia
Ilustrasi sekolah persen (Freepik)

Sejarah pendidikan di Indonesia terus berjalan dari satu kurikulum ke kurikulum lainnya. Dari sistem penjurusan yang kaku di era 90-an hingga pendekatan yang lebih fleksibel. Namun, di tengah semua perubahan ini, satu pertanyaan mendasar selalu muncul: sistem mana yang paling cocok dengan karakteristik dan kebutuhan peserta didik di Indonesia yang sangat beragam?                                                                                         

Perjuangan siswa

Nostalgia tentang sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa sering muncul dalam diskusi di antara para pendidik. Ini bukan sekadar kerinduan akan masa lalu, melainkan lebih kepada pengakuan tentang efektivitas sistem tersebut dalam konteks pendidikan di Indonesia. Bila kita amati realitas pendidikan saat ini—di mana banyak siswa masih berjuang dalam kemandirian belajar dan kemampuan literasi dasar—diskusi untuk menghidupkan kembali sistem penjurusan, patut dipertimbangkan.

Dalam kondisi seperti ini, mengharapkan siswa seperti mereka untuk menentukan sendiri jalur pembelajaran tanpa arahan yang jelas, adalah seperti melepaskan seorang anak ke lautan tanpa kemampuan berenang.

Selain itu, guru-guru di Indonesia juga menghadapi tekanan yang luar biasa. Beban berat administratif sering kali menyita waktu dan energi yang seharusnya digunakan untuk mengembangkan metode pembelajaran dan mendampingi siswa. Survei yang dilakukan oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menunjukkan bahwa sebagian besar guru menghabiskan waktunya hampir 60% untuk urusan administratif.

Sistem penjurusan yang terstruktur bisa menjadi solusi yang membantu guru untuk mengatur pembelajaran yang efisien, tanpa perlu merancang berbagai program individual.

Kabar terbaru datang pada April 2025 ketika Mendikdasmen, Abdul Mu’ti, mengumumkan bahwa jurusan IPA, IPS, dan Bahasa  serta UN akan kembali diterapkan di jenjang SMA. Langkah ini diambil untuk mendukung persiapan siswa dalam menghadapi tes masuk perguruan tinggi yang memang sudah terspesialisasi. Kebijakan ini merupakan respons terhadap evaluasi yang menunjukkan bahwa sistem pendidikan tanpa penjurusan belum efektif.

Berbagai tantangan                                                                                                    

Penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa dalam Kurikulum Merdeka memang menimbulkan berbagai tantangan di lapangan. Setelah penghapusan jurusan, siswa harus mengikuti mata pelajaran wajib dan peminatan yang san membebani. Sistem Kelompok Peminatan Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, serta Ilmu Bahasa dan Budaya, membuat siswa kesulitan untuk mendalami bidang yang sesuai dengan minat mereka. Beragam mata pelajaran lintas bidang tetap harus mereka ambil.

Meskipun tujuan penghapusan jurusan adalah untuk memberikan kesempatan lebih luas kepada siswa guna mengeksplorasi minat, dalam praktiknya terdapat sejumlah sekolah tetap menerapkan ”penjurusan terselubung”, karena keterbatasan sumber daya dan tenaga pendidik.

Penentuan jurusan acapkali dikritik sebagai pembatasan potensi siswa. Akan tetapi, dengan memahami karakteristik kognitif yang beragam, penjurusan justru bisa menjadi bentuk penghargaan terhadap keunikan setiap individu.

Hasil studi berbagai lembaga pendidikan menunjukkan bahwa siswa dengan kecerdasan visual-spasial menunjukkan performa yang lebih baik dalam bidang eksakta, sementara siswa yang memiliki kecerdasan verbal-linguistik lebih cemerlang di bidang bahasa dan humaniora. Dalam konteks ini, penjurusan bukanlah suatu batasan, melainkan cara mengoptimalkan potensi siswa.

Namun demikian, kita perlu belajar dari kelemahan sistem penjurusan yang terlalu kaku di masa lalu. Saat ini, kita memerlukan pendekatan yang lebih fleksibel dan adaptif. Kita bisa belajar dari model ”penjurusan fleksibel” yang diterapkan di Finlandia. Sistem ini memungkinkan siswa memiliki fokus utama, tetapi tetap memperoleh kesempatan untuk menjelajahi bidang lain yang diminati.

Sementara itu, Singapura menerapkan sistem streaming, yakni melakukan pengelompokan siswa sejak dini berdasarkan kemampuan akademik. Sistem ini dilengkapi dengan ”jembatan” yang memungkinkan siswa untuk berpindah jalur jika mereka menunjukkan perkembangan yang signifikan. Sistem penjurusan ini bila dirancang dengan baik, dapat menjadi katalisator mobilitas sosial. Mengapa? Karena setiap siswa mendapatkan pendidikan yang paling sesuai dengan kemampuan mereka.

Sistem di Jerman yang menerapkan tracking ketat, mungkin terlalu ekstrem untuk konteks Indonesia. Sistem ini menempatkan anak usia 10 tahun ke jalur pendidikan yang cenderung permanen (Gymnasium, Realschule, atau Hauptschule). Terasa terlalu dini dan determinatif. Namun demikian, kita dapat mengadopsi filosofi dasarnya, yakni bahwa jalur pendidikan yang berbeda tidak berarti kualitasnya berbeda, tetapi pendekatan yang berbeda digunakan untuk mencapai tujuan yang berbeda pula.       

Penjurusan bertahap

Dalam Kurikulum Merdeka, penjurusan memang dihapuskan dan digantikan dengan konsep peminatan. Namun demikian, konsep ini menghadapi berbagai tantangan saat diterapkan di lapangan, terutama bagi sekolah-sekolah yang kekurangan tenaga guru dan fasilitas pendidikan.

Karenanya, upaya menghidupkan kembali sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa—dengan sejumlah modifikasi—tampaknya merupakan solusi yang lebih realistis untuk pendidikan di Indonesia saat ini. Model yang penulis usulkan adalah ”penjurusan bertahap”, di mana kelas 10 menerapkan tahun orientasi dengan mata pelajaran umum, ditambah pengenalan mendalam di berbagai bidang. Langkah ini dibarengi dengan penjurusan di kelas 11 dan 12, tetapi tetap memberikan kesempatan untuk lintas minat yang terbatas.

Sudah barang tentu, penjurusan bukanlah solusi ajaib untuk semua masalah pendidikan di Indonesia. Tanpa perbaikan kualitas guru, pengurangan beban administratif, dan penguatan budaya literasi, perubahan struktural apa pun tidak akan memberikan dampak positif yang diharapkan. Dalam kondisi saat ini, penjurusan dapat memberikan kerangka yang membantu kita dalam menyusun pembelajaran secara lebih efektif.

Sebagai penutup, kita perlu mengingat bahwa prinsip dasar pendidikan adalah memberikan yang terbaik untuk peserta didik, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka. Prinsipnya bukanlah memaksakan sistem ideal yang belum siap. Penjurusan yang dirancang secara bijaksana—dengan memetik pelajaran dari masa lalu dan inspirasi praktik terbaik di seluruh dunia—dapat menjadi langkah strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pengembalian penjurusan bukanlah langkah mundur, melainkan langkah cerdas untuk membangun fondasi yang kuat bagi kemajuan pendidikan Indonesia di masa depan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak