Work-Family Enrichment, Menemukan Keseimbangan bagi Perempuan Pekerja

Hernawan | Rion Nofrianda
Work-Family Enrichment, Menemukan Keseimbangan bagi Perempuan Pekerja
Ilustrasi karyawan perempuan yang sedang bekerja (pexels/Pavel Danilyuk)

Dalam dekade terakhir, peran perempuan dalam dunia kerja semakin menunjukkan eksistensinya, terutama di kota-kota besar seperti Surabaya. Namun, di balik kemajuan ini, tantangan besar tetap menghantui: bagaimana perempuan yang bekerja, khususnya yang telah berkeluarga, dapat menyeimbangkan dua dunia yang sama-sama menuntut perhatian penuh?

Artikel yang dipublikasikan dalam InSight: Jurnal Ilmiah Psikologi oleh Burhan, Wardani, dan Kuntari (2024) mengungkap sebuah perspektif baru mengenai hubungan antara pekerjaan dan keluarga. Penelitian ini menyelidiki kontribusi dua variabel psikologis self-efficacy dan optimisme dalam menciptakan keseimbangan yang positif antara keduanya, sebuah konsep yang mereka sebut sebagai work-family enrichment (WFE). Namun, meskipun hasilnya memberikan gambaran optimis, ada beberapa hal yang patut kita renungkan lebih dalam.

Penelitian ini berfokus pada perempuan pekerja di Surabaya, kota yang menyaksikan transformasi signifikan dalam partisipasi perempuan dalam dunia kerja, bahkan dalam sektor-sektor yang selama ini didominasi oleh laki-laki.

Menariknya, meski data menunjukkan peningkatan jumlah perempuan yang bekerja, tantangan terbesar mereka bukan hanya berada pada tekanan pekerjaan itu sendiri, tetapi juga pada peran mereka di keluarga. Sebuah dilema yang sering kali menjadi topik perbincangan dalam banyak riset adalah bagaimana peran ganda perempuan sebagai pekerja dan istri/ibu sering kali berakhir dalam work-family conflict, sebuah hubungan yang negatif antara pekerjaan dan kehidupan keluarga.

Namun, artikel ini mencoba melihat dari sudut pandang yang berbeda: work-family enrichment. Teori ini berargumen bahwa ada saling pengaruh positif antara pekerjaan dan keluarga, di mana keduanya bisa saling memperkaya dan bukan hanya saling bertentangan.

Penelitian ini mengangkat dua aspek psikologis utama self-efficacy dan optimisme yang diharapkan mampu mendukung perempuan pekerja untuk mencapai keseimbangan tersebut. Hasilnya, ditemukan bahwa self-efficacy dan optimisme berkontribusi besar terhadap peningkatan WFE, dengan keduanya menjelaskan 63,1% dari hubungan positif ini. Temuan ini menarik, tetapi apakah ini cukup untuk mengatasi kompleksitas yang dihadapi perempuan pekerja sehari-hari?

Penelitian ini membuka ruang diskusi yang penting mengenai dua aspek psikologis yang sering kali diabaikan dalam banyak kebijakan organisasi: self-efficacy dan optimisme. Self-efficacy, yang mengacu pada keyakinan diri seseorang terhadap kemampuannya untuk menyelesaikan tugas atau mengatasi tantangan, merupakan faktor yang sangat penting dalam konteks pekerjaan dan keluarga. Dengan meningkatnya self-efficacy, perempuan pekerja merasa lebih mampu mengatasi tekanan di kedua dunia mereka, sehingga keduanya bisa saling memperkaya satu sama lain.

Sementara itu, optimisme, yang dimaknai sebagai pandangan positif terhadap masa depan dan kemampuan untuk melihat sisi baik dari setiap situasi, menjadi pelengkap yang penting. Optimisme memberikan harapan bahwa segala tantangan yang muncul—baik dalam pekerjaan maupun keluarga—dapat dihadapi dengan lebih ringan dan penuh harapan.

Penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa keduanya memiliki pengaruh signifikan dalam menciptakan hubungan positif antara pekerjaan dan keluarga, yang pada akhirnya berujung pada peningkatan kualitas hidup para perempuan pekerja tersebut.

Namun, meskipun hasilnya cukup menggembirakan, kita perlu bertanya: apakah self-efficacy dan optimisme saja cukup? Apakah tidak ada faktor lain yang berperan dalam menciptakan keseimbangan tersebut? Misalnya, bagaimana dengan dukungan sosial, baik dari pasangan maupun rekan kerja, atau kebijakan perusahaan yang memberikan fleksibilitas dalam bekerja?

Penelitian ini, meskipun memberikan wawasan penting, belum sepenuhnya menggali berbagai faktor eksternal yang juga sangat menentukan dalam dinamika keseimbangan kerja-keluarga.

Salah satu kritik utama terhadap penelitian ini adalah pendekatannya yang terlalu fokus pada faktor psikologis individu, tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan organisasi yang lebih luas. Meskipun self-efficacy dan optimisme dapat menjadi faktor penentu penting dalam work-family enrichment, tanpa adanya dukungan dari lingkungan sekitar baik itu keluarga, tempat kerja, atau kebijakan pemerintah perempuan pekerja mungkin akan tetap terjebak dalam tekanan yang tidak bisa diatasi hanya dengan mengandalkan kekuatan psikologis pribadi.

Dalam konteks ini, perusahaan dan organisasi perlu lebih proaktif dalam menciptakan kebijakan yang mendukung keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga. Misalnya, menyediakan waktu fleksibel atau memperkenalkan kebijakan yang lebih ramah terhadap keluarga, seperti cuti orangtua atau ruang laktasi, dapat memperkaya pengalaman perempuan pekerja di kedua ranah tersebut. Selain itu, dukungan dari pasangan juga sangat krusial—sebuah elemen yang sering kali terlupakan dalam banyak studi yang membahas peran perempuan pekerja.

Selain itu, perlu dicatat bahwa penelitian ini terbatas pada perempuan pekerja di Surabaya, yang mungkin memiliki kondisi sosial dan budaya yang berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia. Surabaya, sebagai kota besar dengan dinamika ekonomi yang tinggi, mungkin memiliki kondisi yang berbeda dengan kota kecil atau daerah dengan tingkat pengangguran yang lebih tinggi. Oleh karena itu, akan sangat menarik jika penelitian ini dapat direplikasi di berbagai kota lain di Indonesia, untuk melihat apakah temuan serupa dapat ditemukan di tempat lain dengan karakteristik yang berbeda.

Meski hasil penelitian ini menunjukkan hubungan positif antara self-efficacy dan optimisme dengan work-family enrichment, tantangan terbesar yang harus dihadapi adalah bagaimana mengimplementasikan temuan ini dalam kehidupan nyata perempuan pekerja.

Pemerintah, organisasi, dan masyarakat harus bekerja bersama untuk menciptakan lingkungan yang tidak hanya mengakui peran perempuan dalam dunia kerja, tetapi juga mendukung mereka dalam menghadapi tantangan besar yang datang dari peran mereka di rumah. Penguatan psikologis melalui self-efficacy dan optimisme harus disertai dengan dukungan struktural yang memungkinkan perempuan untuk benar-benar merasakan manfaat dari keseimbangan tersebut.

Penelitian ini memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman kita tentang bagaimana faktor psikologis seperti self-efficacy dan optimisme dapat memperkaya pengalaman perempuan pekerja dalam menyeimbangkan peran mereka sebagai pekerja dan anggota keluarga.

Namun, meskipun temuan ini memberikan optimisme, kita harus mengingat bahwa faktor-faktor eksternal, seperti dukungan sosial dan kebijakan organisasi, memegang peranan yang tidak kalah penting. Oleh karena itu, untuk menciptakan keseimbangan kerja-keluarga yang sejati, dibutuhkan upaya kolektif dari berbagai pihak dari individu, perusahaan, hingga pemerintah.

Hanya dengan pendekatan yang holistik dan inklusif kita dapat memastikan bahwa perempuan pekerja tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga berkembang dalam kedua peran yang mereka jalani.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak