Kita semua bisa ngerasain, dunia sekarang lagi serba nggak pasti. Harga barang naik, kerjaan makin susah dicari, pendidikan makin mahal, dan krisis iklim makin nyata. Dan ini bukan cuma perasaan data dan proyeksi dari para ahli juga bilang hal yang sama: tahun 2030 kemungkinan bakal jadi titik berat krisis global, terutama di bidang ekonomi dan pendidikan.
Dari sisi ekonomi, Bank Dunia udah sounding sejak 2023 kalau pertumbuhan ekonomi global menuju dekade terlemah sejak 1990. Artinya, peluang kerja makin sedikit, ekonomi dunia makin stagnan, dan tekanan ke negara berkembang—kayak Indonesia bakal makin gede.
Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga bilang kalau dampak krisis iklim bisa bikin Indonesia rugi sampai 45% dari PDB di 2030, kalau kita nggak siap-siap dari sekarang. Gede banget, kan?
Nggak berhenti di situ. Di sektor pendidikan, situasinya juga bikin geleng-geleng kepala. UNESCO merilis laporan yang bilang bahwa kalau laju pendidikan dunia tetap kayak sekarang, akses penuh ke pendidikan dasar baru bakal tercapai tahun 2042, dan pendidikan menengah atas baru rampung di 2084.
Gila, padahal targetnya pengen semua anak di dunia bisa sekolah minimal sampai SMA sebelum 2030. Kenyataannya, baru sekitar 30% penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang lulus SMA (BPS, 2024). Jadi wajar kalau kita bilang: sistem pendidikan kita masih ketinggalan jauh banget.
Kondisi kayak gini bikin kita sadar, krisis 2030 itu bukan isapan jempol. Tapi bukan berarti harus langsung pesimis dan panik. Justru sekarang momen paling pas buat kita mikir, "Apa yang bisa disiapin dari sekarang biar nanti nggak keteteran?"
Ekonomi Bakal Ngepres, Jadi Harus Punya Strategi dari Sekarang
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2024 ada di angka 5,03%. Nggak buruk sih, tapi juga nggak bisa dibilang aman-aman banget, apalagi harga kebutuhan pokok juga ikut naik.
Bahkan menurut Bank Dunia, Indonesia termasuk negara yang rentan kalau krisis global benar-benar kejadian karena masih banyak masyarakat yang hidup di batas garis kemiskinan.
Jadi, apa yang harus dilakukan? Pertama, jelas: belajar atur uang. Mulai catat pengeluaran harian, kurangi belanja impulsif, dan kalau bisa, mulai bangun dana darurat. Bahkan Rp10.000 sehari pun kalau rutin bisa jadi pegangan saat butuh banget.
Kedua, jangan cuma punya satu sumber penghasilan. Kita hidup di era gig economy, kerja freelance, jualan online, bahkan jadi konten kreator bisa bantu isi dompet. Banyak yang dulu kerja kantoran tapi sekarang malah stabil hidupnya dari bisnis kecil atau nulis di internet.
Pendidikan Gak Bisa Lagi Sekadar Lulus Sekolah
Krisis di 2030 nanti nggak cuma soal ekonomi, tapi juga kualitas manusia yang siap bersaing. Dan sayangnya, pendidikan kita masih PR banget. Data dari BPS per 2024 menunjukkan kalau cuma sekitar 30% penduduk usia 15 ke atas yang lulus SMA. Lebih miris lagi, masih banyak anak muda di pelosok yang putus sekolah gara-gara faktor ekonomi.
Padahal, menurut laporan UNESCO 2023, krisis pendidikan bisa bikin efek domino ke pengangguran, kemiskinan, sampai kejahatan. Jadi jelas banget, pendidikan bukan cuma urusan sekolah, tapi soal masa depan bangsa.
Solusinya? Kita harus adaptif. Nggak cukup cuma bergantung ke pendidikan formal. Mulai rajin ikut pelatihan online gratis, belajar dari YouTube, ikut webinar, atau bahkan belajar lewat TikTok edukatif.
Banyak platform kayak Coursera, Kampus Merdeka, sampai Prakerja yang bisa bantu upgrade skill. Intinya, jangan nunggu lulus baru belajar. Justru belajar terus, meski udah lulus.
Teknologi dan Otomatisasi: Antara Ancaman dan Peluang
Sekarang, makin banyak kerjaan manusia yang mulai diganti sama mesin. Ini bukan cuma kekhawatiran masa depan, tapi udah kejadian.
Menurut laporan McKinsey Global Institute, sampai tahun 2030 nanti, sekitar 23 juta pekerjaan di Asia Tenggara bisa tergantikan oleh otomatisasi, dan Indonesia termasuk salah satu yang paling terdampak. Pekerjaan yang paling rentan itu biasanya yang rutin dan gampang diprediksi seperti operator pabrik, kasir, sampai admin.
Tapi jangan langsung mikir dunia bakal dikuasai robot. Soalnya, McKinsey juga bilang bahwa otomatisasi ini justru bisa buka 27 sampai 46 juta lapangan kerja baru di Indonesia, khususnya di bidang yang butuh kreativitas, kemampuan problem-solving, dan kerja tim. Ini berarti, orang yang bisa adaptasi, punya soft skill yang oke, dan ngerti teknologi, malah makin dibutuhin.
Hal yang sama juga ditegasin sama laporan World Economic Forum tahun 2023. Mereka memperkirakan dalam lima tahun ke depan, 83 juta pekerjaan bakal hilang karena otomatisasi dan AI, tapi 69 juta pekerjaan baru juga bakal muncul. Artinya, kita nggak benar-benar kehilangan semuanya cuma perlu pindah jalur dan siap belajar ulang.
Buat kamu yang masih sekolah, kuliah, atau baru mulai kerja, sekarang momen yang pas buat upgrade skill. Bukan cuma jago Excel atau desain, tapi juga bisa kerja bareng tim, mikir out of the box, dan ngerti cara beradaptasi sama perubahan. Karena di masa depan, bukan gelar yang bikin aman, tapi kemampuan buat terus belajar dan relevan.
Jaringan Sosial: Investasi Non-Materi yang Super Penting
Krisis itu nggak melulu soal isi dompet atau ijazah. Kadang yang bikin kita tetap bisa jalan justru adalah orang-orang di sekitar kita teman, keluarga, komunitas, bahkan rekan kerja. Support system ini sering diremehkan, padahal dalam situasi krisis, jaringan sosial bisa jadi penyelamat paling nyata.
Menurut laporan dari World Bank, saat pandemi COVID-19 melanda, banyak pekerja informal di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, bertahan bukan karena bantuan pemerintah, tapi karena dukungan sosial baik dari keluarga, teman, atau komunitas lokal. Bahkan, lebih dari 50% pekerja informal Indonesia mengandalkan bantuan dari jaringan pribadi saat kehilangan penghasilan.
Kita sering mikir bahwa peluang kerja datang dari loker online atau platform besar. Padahal, banyak banget kasus di mana orang dapet kerjaan dari obrolan santai di tongkrongan, rekomendasi temen satu komunitas, atau sekadar info lowongan dari grup WhatsApp. Ini bukan mitos. Data dari LinkedIn tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 85% posisi kerja diisi lewat koneksi atau networking, bukan lewat pengiriman CV formal. Gila, kan?
Makanya, penting banget mulai sekarang kita bangun dan rawat koneksi. Bukan cuma buat cari kerja, tapi juga buat belajar bareng, berbagi peluang, dan saling ngingetin kalau ada yang mulai goyah. Gabung komunitas yang sesuai minat, entah itu bidang teknologi, pendidikan, seni, atau lingkungan. Aktif di forum-forum diskusi online, ikut kelas bareng, atau bantuin temen yang lagi butuh tangan tambahan hal-hal kecil itu bisa jadi jembatan panjang di masa depan.
Karena dalam hidup, kita nggak cuma butuh skill dan ijazah, tapi juga butuh orang yang siap narik tangan kita saat lagi jatuh. Dan jaringan sosial yang kuat itu, bisa jadi tabungan paling berharga pas krisis datang.
Kesimpulan: Siap Bukan Berarti Panik
Krisis 2030 mungkin nggak bisa kita hindari, apalagi kalau ngelihat tren dunia yang makin nggak stabil mulai dari ekonomi yang fluktuatif, pendidikan yang belum merata, sampai teknologi yang terus bergerak cepat.
Tapi bukan berarti kita harus duduk manis sambil nunggu “badai lewat” atau malah menimbun mie instan dan hidup penuh ketakutan. Yang kita butuhin sekarang justru adalah kesiapan mental dan strategi bertahan yang realistis.
Kita bisa mulai dari hal yang kelihatan sederhana: terus belajar hal baru, upgrade skill yang relevan, dan bangun koneksi yang sehat.
Nggak perlu langsung ikut kursus mahal kadang nonton video edukatif gratis, ikut komunitas, atau bantuin temen bikin proyek bareng bisa lebih berguna dari sekadar ikut webinar demi e-sertifikat. Di era sekarang, yang kuat bukan yang paling pintar, tapi yang paling luwes dan tahan banting.
Jangan juga terlalu bergantung sama negara atau sistem. Bukan berarti anti-pemerintah, tapi realitanya, saat krisis benar-benar datang, respons negara kadang lambat atau nggak merata.
Makanya, lebih baik kita siap bantu diri sendiri dulu sebelum minta dibantu. Mulai dari jaga keuangan, punya rencana cadangan, sampai belajar hidup lebih sederhana dan nggak konsumtif.
Dan yang paling penting: jangan lupa jadi manusia. Di tengah situasi yang makin individualis, justru solidaritas dan empati itu nilainya jadi mahal. Kalau bisa saling bantu, saling dengar, dan saling dorong buat terus maju krisis seberat apapun jadi lebih bisa kita lewatin bareng-bareng.
Karena di dunia yang makin nggak pasti, akal sehat dan rasa peduli tetap jadi senjata paling ampuh.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS