Setiap peringatan Hari Buruh Internasional yang jatuh pada 1 Mei, jalanan di berbagai kota besar Indonesia dipenuhi massa demonstran, seruan tuntutan, hingga pidato-pidato simbolik dari para pemangku kepentingan.
Namun, di balik gegap gempita seremonial tersebut, masih banyak wajah buruh yang luput dari perhatian publik—salah satunya adalah buruh perempuan.
Dalam ekosistem ketenagakerjaan nasional yang masih kental dengan segregasi berbasis gender, buruh perempuan menghadapi tantangan yang tidak ringan.
Mereka kerap ditempatkan dalam posisi rentan, bukan hanya karena status pekerjaan atau tingkat upah yang lebih rendah, tetapi juga karena stereotip budaya yang membatasi akses mereka terhadap jenjang karier, perlindungan kerja, hingga representasi dalam pengambilan keputusan.
Sejumlah temuan menyebutkan bahwa perempuan masih mendominasi sektor informal dengan upah rendah dan perlindungan sosial yang minim.
Data dari survei Women’s Equality in the Workplace oleh Populix menunjukkan, 45 persen perempuan mengaku pernah menerima perlakuan tidak menyenangkan di lingkungan kerja. Sekitar 48 persen di antaranya juga menyebut mendapat upah lebih rendah dibanding rekan laki-laki yang memiliki tanggung jawab serupa.
Kesenjangan ini tidak berhenti pada nominal gaji. Representasi perempuan dalam jabatan kepemimpinan juga masih tertinggal.
Hanya 43 persen perempuan menduduki posisi strategis, jauh di bawah laki-laki yang mencapai 53 persen. Pemisahan ini kian kentara dalam bentuk segregasi horizontal—perempuan terkonsentrasi di sektor-sektor jasa yang dianggap lebih “feminin” dan memiliki fleksibilitas waktu tinggi, karena harus dibagi dengan tanggung jawab domestik.
Kesenjangan yang Mengakar
Fenomena ini mengindikasikan adanya hambatan struktural yang sistematis, mulai dari kebijakan ketenagakerjaan yang belum sensitif gender hingga beban domestik yang tidak terbagi secara adil.
Ketiadaan ruang laktasi, keterbatasan cuti melahirkan, serta minimnya perlindungan dari kekerasan di tempat kerja, merupakan bentuk kegagalan kebijakan publik dalam menjawab kebutuhan pekerja perempuan.
Di sisi lain, pemerintah kerap menyampaikan komitmen terhadap kesetaraan gender dalam berbagai forum resmi. Namun, realisasi di lapangan belum mencerminkan semangat tersebut secara utuh.
Perempuan masih kerap tersisih dari ruang partisipasi, baik karena regulasi yang tidak adaptif, maupun karena stigma sosial yang melekat kuat dalam budaya kerja.
Perjuangan yang Tak Berhenti di Jalanan
Narasi tentang buruh selama ini cenderung disederhanakan dalam angka statistik: jumlah pekerja, kontribusi terhadap PDB, atau capaian pertumbuhan ekonomi.
Namun, di balik angka-angka itu, ada wajah-wajah perempuan yang bekerja dalam kondisi tak setara—tanpa ruang menyusui, upah yang tidak setimpal, atau dilema antara karier dan keluarga.
Pekerja perempuan bukanlah pelengkap. Mereka adalah pilar penting dalam sektor manufaktur, kesehatan, pendidikan, dan banyak industri lainnya. Namun, pengakuan atas kontribusi mereka sering kali dibungkus dalam istilah “akomodasi”, yang justru memperhalus praktik marginalisasi.
Mewujudkan ruang kerja yang setara bagi perempuan memerlukan langkah nyata dan keberpihakan struktural. Pemerintah perlu menyusun kebijakan ketenagakerjaan yang berbasis data gender, memberikan insentif bagi perusahaan yang mempraktikkan kesetaraan, serta memperkuat pengawasan terhadap perlakuan diskriminatif di tempat kerja.
Sudah saatnya negara hadir lebih konkret: menciptakan regulasi yang progresif, memperkuat pengawasan ketenagakerjaan, dan mengalokasikan anggaran yang berpihak pada kebutuhan perempuan di tempat kerja. Kesetaraan bukan sekadar jargon dalam pidato kenegaraan, melainkan hak dasar yang harus diperjuangkan dan dijamin.
Refleksi Hari Buruh seharusnya tidak berhenti pada panggung orasi. Ia harus diterjemahkan menjadi kebijakan yang membumikan keadilan. Ekosistem kerja yang adil dan setara hanya mungkin tercapai bila semua pekerja—tanpa kecuali—dipandang setara dalam martabat dan perlindungan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS