Etika yang Hilang, Mengapa Tim Kompak Bisa Saling Menikam?

Hikmawan Firdaus | Rion Nofrianda
Etika yang Hilang, Mengapa Tim Kompak Bisa Saling Menikam?
Ilustrasi konflik dalam pekerjaan (pexels/Yan Krukau)

Di tengah lanskap organisasi modern yang semakin kompleks dan kompetitif, konflik menjadi sesuatu yang hampir tak terhindarkan. Konflik tugas, yang kerap dipandang sebagai bentuk konflik yang sehat karena berkisar pada perbedaan gagasan, metode, atau strategi kerja, ternyata menyimpan potensi destruktif yang selama ini kerap diabaikan. Inilah premis penting yang diajukan oleh Monteiro Pereira dan Barreiros Porto dalam studi terbaru mereka yang diterbitkan pada tahun 2025 di Journal of Work and Organizational Psychology. Dalam kajian tersebut, keduanya mengeksplorasi hubungan antara konflik tugas dengan perilaku kontra-produktif di tempat kerja, serta peran yang seharusnya dimainkan oleh iklim etika organisasi.

Konflik tugas seringkali diasosiasikan dengan diskusi intelektual yang memicu inovasi. Namun, temuan Pereira dan Porto justru menunjukkan bahwa konflik jenis ini memiliki korelasi positif terhadap munculnya perilaku kontra-produktif, yakni perilaku yang merugikan organisasi maupun rekan kerja secara sengaja. Perilaku ini bisa muncul dalam bentuk sabotase pekerjaan, menyebarkan rumor, memanipulasi rekan kerja, atau sekadar menunjukkan resistensi pasif terhadap perintah atasan. Temuan ini mengejutkan karena menggugat anggapan umum bahwa konflik tugas bersifat membangun dan bebas dari konsekuensi interpersonal yang merusak.

Untuk menjelaskan dinamika ini, para peneliti menguji apakah iklim etika organisasi dapat memediasi hubungan antara konflik tugas dan perilaku kontra-produktif. Iklim etika dalam konteks ini merujuk pada sejauh mana organisasi menanamkan dan menegakkan nilai-nilai moral dalam keseharian kerja. Secara teoritis, organisasi dengan iklim etika yang kuat seharusnya mampu membendung dorongan individu untuk berperilaku merugikan saat menghadapi tekanan atau ketidaksepakatan. Namun, hasil analisis menunjukkan bahwa iklim etika tidak berperan sebagai mediator yang efektif dalam hubungan tersebut.

Kegagalan peran mediatif ini membuka pertanyaan kritis tentang bagaimana sebenarnya nilai-nilai etika dihayati oleh individu dalam organisasi. Bisa jadi etika dalam organisasi hanya hidup dalam bentuk deklarasi formal semata, tertulis rapi dalam visi dan misi perusahaan, namun tidak menjelma dalam perilaku nyata para pemimpinnya. Di banyak tempat kerja, nilai-nilai seperti integritas, kejujuran, dan keadilan menjadi sekadar jargon yang kehilangan makna karena tidak dikawal dengan sistem pendukung yang konkret.

Lebih jauh, para peneliti menemukan bahwa meskipun iklim etika tidak mampu menjadi perantara antara konflik tugas dan perilaku kontra-produktif, ia tetap memiliki pengaruh langsung dalam menurunkan kemungkinan munculnya perilaku tersebut. Artinya, organisasi dengan persepsi iklim etika yang tinggi cenderung memiliki karyawan yang lebih enggan melakukan tindakan-tindakan merusak. Namun demikian, peran ini hanya bersifat pencegah minor dan tidak cukup kuat untuk menahan dampak destruktif yang ditimbulkan konflik tugas secara intensif.

Temuan ini mengindikasikan adanya jurang antara etika normatif dan etika praksis dalam organisasi. Banyak nilai moral yang hanya bersifat normatif yakni ditulis, diumumkan, dan dikampanyekan namun tidak dibudayakan secara sistematis melalui pelatihan, diskusi internal, maupun keteladanan pemimpin. Dalam situasi konflik, terlebih saat ketegangan meningkat akibat tekanan kinerja, karyawan cenderung tidak mengacu pada kode etik formal, melainkan pada logika bertahan hidup dan rasionalitas pragmatis.

Fenomena ini menjadi lebih parah ketika pemimpin organisasi tidak memperlihatkan komitmen terhadap nilai-nilai etika yang mereka serukan. Ketika atasan bersikap permisif terhadap manipulasi, merayakan agresivitas atas nama pencapaian target, atau menutup mata terhadap intimidasi antar tim, maka etika yang semestinya menjadi jangkar moral justru kehilangan legitimasinya. Dalam kondisi seperti ini, konflik tugas tidak lagi menjadi ruang diskusi profesional, melainkan menjadi medan kompetisi yang berisiko tinggi mendorong agresi terselubung.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh perilaku kontra-produktif pun bukan hanya bersifat individual, melainkan sistemik. Budaya kerja yang tercemar oleh sikap saling curiga, sikap sinis, dan ketidakpedulian pada norma bersama akan melemahkan kohesi tim dan meningkatkan keinginan individu untuk keluar dari organisasi. Ketika iklim kerja menjadi toksik, maka loyalitas pun terkikis, dan produktivitas tim menjadi korban jangka panjang.

Data yang dikumpulkan dalam studi ini memperkuat kekhawatiran tersebut. Analisis regresi menunjukkan bahwa konflik tugas memiliki kontribusi nyata terhadap munculnya perilaku kontra-produktif. Artinya, persoalan ini tidak dapat dianggap sepele atau insidental. Ia bukan sekadar gejala dari individu bermasalah, melainkan bagian dari disfungsi organisasi yang lebih besar.

Bagi para pemimpin organisasi, manajer sumber daya manusia, dan praktisi psikologi organisasi, studi ini menjadi cermin yang tajam. Ia menunjukkan bahwa mengelola konflik tidak cukup hanya dengan mengandalkan prosedur atau peraturan. Diperlukan upaya yang lebih dalam dan menyeluruh untuk membangun budaya kerja yang etis, yang hidup dalam keseharian dan mengakar dalam keputusan strategis maupun operasional.

Langkah pertama dalam membangun kembali kekuatan etika dalam organisasi adalah dengan menginternalisasi nilai-nilai tersebut ke dalam sistem, bukan sekadar membicarakannya dalam seminar tahunan atau menyisipkannya dalam dokumen kebijakan. Etika harus menjadi bagian dari sistem pelatihan karyawan, alat ukur kinerja, dan dasar dalam proses promosi. Selain itu, audit etika perlu dilakukan secara berkala, bukan hanya untuk mengukur persepsi karyawan, tetapi untuk mengidentifikasi jarak antara nilai yang diproklamasikan dengan realitas yang dijalani.

Lebih penting lagi, kepemimpinan etis harus menjadi teladan utama. Pemimpin yang tidak hanya berbicara soal integritas tetapi juga mempraktikkannya dalam keseharian akan memberikan efek pengaruh yang jauh lebih besar daripada sekian banyak slogan atau poster motivasi. Pemimpin yang bersikap adil, terbuka terhadap kritik, dan konsisten dalam pengambilan keputusan akan memperkuat rasa aman psikologis dalam tim, sehingga konflik pun dapat dikelola secara konstruktif tanpa menimbulkan kerusakan moral.

Dalam dunia kerja yang semakin volatil dan ambigu, organisasi yang mampu mempertahankan prinsip etis justru akan memiliki keunggulan kompetitif yang lebih tahan lama. Mereka bukan hanya dipercaya oleh karyawan, tetapi juga oleh pelanggan, mitra, dan publik. Sebaliknya, organisasi yang gagal membumikan etika dalam praksis akan menjadi tempat kerja yang penuh ketegangan, di mana konflik berkembang menjadi agresi, dan produktivitas dikorbankan demi politik kantor.

Penelitian Pereira dan Porto tidak hanya memberikan sumbangan penting dalam kajian perilaku organisasi, tetapi juga menjadi peringatan bagi kita semua: bahwa etika bukan pelengkap estetika organisasi, melainkan fondasi dari kualitas hubungan antarmanusia yang mendasari keberhasilan kerja bersama. Ketika konflik muncul sebagaimana pasti akan terjadi etika adalah satu-satunya kompas yang dapat membimbing organisasi keluar dari ketegangan tanpa kehilangan arah. Namun jika kompas itu rusak, maka yang tersisa hanyalah perjalanan tanpa tujuan dalam lanskap kerja yang penuh bahaya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak