Pernah nggak sih kamu mendengar kalimat seperti ini, “Zakat itu membersihkan harta, membantu sesama, dan bentuk solidaritas sosial yang paling mulia”? Klise? Mungkin.
Tapi coba pikir, seandainya kamu bayar zakat, infak, sedekah, dengan harapan bisa bantu guru ngaji yang kesusahan, atau lansia yang nggak punya cucu yang peduli… tapi ternyata, dananya malah dipakai buat beli lima mobil baru untuk para pimpinan lembaganya. Gimana rasanya?
Itulah yang terjadi di Baznas Kabupaten Tasikmalaya. Mereka pakai dana hibah Rp1,43 miliar dari Pemprov Jabar buat beli mobil operasional bagi para pimpinan.
Ya, kamu gak salah baca, lima mobil, buat lima pimpinan. Alasannya? Karena sebelumnya para pimpinan ini pakai mobil pribadi, jadi katanya perlu kendaraan dinas demi “meningkatkan kinerja.”
Tunggu dulu. Mobil itu beneran bisa bikin kinerja meningkat? Apa kinerjanya selama ini loyo karena AC mobil pribadi kurang dingin? Atau karena suspensi sedan di rumah nggak cocok sama jalanan Tasikmalaya?
Mereka berdalih semua ini “sesuai proposal dan NPHD”—alias dokumennya lengkap, prosedurnya formal. Tapi, apakah yang formal selalu etis?
Baznas itu bukan lembaga bisnis, bukan juga kementerian atau BUMN. Baznas adalah lembaga pengelola zakat, infak, dan sedekah. Kepercayaan publik adalah modal utamanya.
Kalau publik udah mulai sinis, mempertanyakan ke mana zakat mereka lari, ya itu tanda tanya besar tentang arah lembaga ini berjalan.
Dalam dokumen resmi Baznas, misi mereka sangat mulia, di antaranya mengurangi kemiskinan, memberdayakan umat, hingga mempercepat pembangunan kesejahteraan. Tapi kalau duit miliaran malah dipakai buat beli mobil pimpinan, misi mulia itu jadi terdengar seperti slogan buat stiker kaca belakang.
Menurut data dari BPS (2023), sekitar 9,36% penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Di Jawa Barat sendiri, angka kemiskinan masih di atas 4 juta jiwa. Itu artinya, jutaan orang masih perlu bantuan paling dasar, seperti makanan, pendidikan, dan akses kesehatan. Tapi ironisnya, ada lembaga yang seharusnya mengurus hal itu, justru memprioritaskan… kendaraan dinas.
Kita lagi ngomongin uang publik, bro. Bahkan kalau itu bukan dari zakat langsung, tetap aja, dana hibah itu disalurkan ke Baznas dengan misi sosial. Dananya nggak dikasih buat gaya-gayaan.
Kalau alasannya “pimpinan nggak punya kendaraan operasional,” ya, itu bisa diatasi dengan solusi lain, misalnya satu mobil bersama, sewa kendaraan seperlunya, atau manfaatin teknologi, zaman sekarang rapat bisa lewat Zoom, survei bisa via HP. Nggak harus mobil pribadi dengan pelat merah biar bisa “nugas.”
Ini bukan pertama kalinya lembaga publik kena sorotan gara-gara pengadaan mobil. Kita udah sering lihat DPRD beli Alphard, camat minta Fortuner, bahkan pejabat desa beli mobil dinas dari dana desa.
Fenomena ini seperti penyakit menahun, semua pengen “layak” dalam tanda kutip, tapi lupa kalau “layak” itu mestinya dinilai dari hasil kerja, bukan fasilitas.
Sayangnya, budaya ini makin dianggap normal. Padahal, kalau dibiarkan, publik makin apatis. Mereka yang tadinya semangat bayar zakat, malah berpikir, “Ah, buat beli mobil lagi, ngapain gue bantu?”
Ini masalah kepercayaan. Sekali retak, susah dibangun ulang.
Zakat itu bukan pajak. Orang bayar zakat dengan hati, bukan karena wajib hukum negara. Jadi jangan dikhianati dengan cara pengelolaan yang bikin publik ilfeel.
Bayangkan saja, orang jualan gorengan keliling masih nyisihin uang recehnya buat zakat, eh yang menerima justru beli kendaraan yang bahkan tukang ojek online pun cuma bisa lihat dari kaca jendela.
Jadi, sebelum kita ngomong soal “meningkatkan kinerja” lewat mobil dinas, coba tanyakan dulu, kinerja siapa, manfaatnya buat siapa, dan… siapa yang akhirnya makin jauh dari cita-cita keadilan sosial?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS