Membaca Tak Harus Buku, Saatnya Menggeser Perspektif Literasi yang Kaku

Ayu Nabila | Ruslan Abdul Munir
Membaca Tak Harus Buku, Saatnya Menggeser Perspektif Literasi yang Kaku
Literasi bisa dalam bentuk apa saja, salah satunya membaca berita di media digital (Pexels/Cottonbro Studio)

Ketika kita mendengar kata "literasi", sebagian besar dari kita mungkin akan langsung membayangkan buku-buku tebal, lemari penuh bacaan, atau suasanan perpustakaan yang sunyi.

Seolah literasi selalu identik dengan aktivitas membaca buku fisik dari penulis ternama saja. Padahal, di era digital saat ini, makna literasi seharusnya sudah lebih luas dari itu, lebih fleksibel, inklusif, dan relevan dengan cara hidup manusia modern masa kini.

Aktivitas membaca tidak melulu soal membuka lembar demi lembar buku cetak yang ada diperpustakaan atau di rak-rak buku.

Literasi di zaman sekarang bisa hadir dalam bentuk artikel daring, cerpen yang ditulis di blog, berita di media sosial, bahkan melalui lirik lagu yang dalam maknanya atau dialog film yang sehari-hari menjadi hiburan kita disaat luang.

Semua bentuk narasi dan ekspresi yang mampu mengajak kita berpikir, merasa, dan merefleksikan diri adalah bagian dari aktivitas literasi. Sayangnya, memang masih banyak yang memandang remeh bentuk-bentuk literasi yang tidak hadir dalam bentuk buku.

Sebagian kalangan bahkan kerap meremehkan mereka yang hanya membaca dari media sosial, padahal Instagram caption yang ditulis dengan niat bisa menyampaikan pesan yang kuat.

Selain itu, informasi yang didapat lewat utas Twitter sering kali lebih tajam dan up to date dalam menyajikan opini publik dibanding esai panjang dengan beberapa halaman. Apakah karena medianya bukan buku, maka nilai literasinya dianggap lebih rendah?

Sudut pandang ini memang perlu kita ubah. Literasi seharusnya tidak dinilai dari bentuknya, tapi dari fungsinya, apakah ia bisa membuat seseorang berpikir lebih kritis, merasa lebih peka, dan memahami realitas dengan lebih jernih?

Dalam hal ini, bahkan lagu dari berbagai jenis musisi  atau monolog dalam film pendek juga bisa menjadi “bacaan” yang dapat membentuk kesadaran penikmatnya.

Kita hidup dalam zaman yang kaya akan bentuk narasi dan informasi. Podcast menyampaikan cerita dan ide dengan suara, video, pendek menggabungkan teks, suara, dan visual untuk menyampaikan pesan.

Lebih dari itu bahkan meme pun sering menyimpan kritik sosial yang tajam dan ringkas. Jika kita masih mengukur literasi hanya dari jumlah buku yang dibaca dalam setahun, kita bisa saja menutup mata terhadap bentuk-bentuk baru literasi yang justru lebih menjangkau generasi muda.

Jutaan informasi yang beredar di dunia digital merupakan bentuk literasi apabila kita bisa menemukan makna atau berpikir tentang apa yang menjadi poin utama dari informasi tersebut.

Tetapi sangat penting bagi kita untuk mencerna informasi tersebut, karena itulah ada yang dinamakan literasi digital. Secara sederhana literasi digital adalah kemampuan seseorang memehami dan mencerna infromasi melalui media digital.

Namun dibalik semua itu, ini bukan berarti kita harus meninggalkan buku. Buku tetap sangat penting bagi kehidupan kita, tetap bernilai tinggi dalam mengasah nalar panjang dan ketekunan.

Tapi kita juga perlu memberi ruang untuk bentuk-bentuk literasi lain agar semua orang merasa punya tempat dalam dunia literasi, termasuk mereka yang tidak tumbuh dalam budaya membaca buku, atau yang tidak punya akses terhadapnya.

Dengan memperluas definisi literasi, kita sedang membuka jalan agar lebih banyak orang bisa merasa terlibat dalam budaya baca dan berpikir.

Sekali lagi ini bukan soal menurunkan standar, tapi soal membuka lebih banyak pintu agar semua orang bisa masuk. Karena pada akhirnya, literasi bukan hanya soal membaca, tapi soal memahami hidup, dan hidup bisa dipelajari dari mana saja.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak