FoMO dan Kecanduan Media Sosial, Menyelami Perangkap Digital Remaja

Hikmawan Firdaus | Rion Nofrianda
FoMO dan Kecanduan Media Sosial, Menyelami Perangkap Digital Remaja
Ilustrasi media online kekinian (pexels/Pixabay)

“Bagaimana mungkin kita hidup dengan tenang jika merasa selalu ketinggalan?” Pertanyaan ini tidak hanya filosofis, tetapi juga sangat relevan bagi jutaan remaja Indonesia yang terjebak dalam jeratan kecanduan media sosial. Sebuah studi dari Nurdin dkk (2024) dari Fakultas Psikologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung membuka satu lagi lembar penting dari peta krisis psikologis remaja: hubungan antara Fear of Missing Out (FoMO) dengan kecanduan media sosial, dan bagaimana tekanan dari teman sebaya memperkuat atau justru gagal memperkuat relasi tersebut.

Penelitian ini, yang dilakukan terhadap 140 pelajar SMP di Bandung, menawarkan cerminan jujur atas gejala yang sering kita anggap remeh: ketergantungan digital. Dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan analisis statistik berbasis SmartPLS, para peneliti menyimpulkan bahwa FoMO memiliki pengaruh yang kuat dan signifikan terhadap kecanduan media sosial. Namun yang lebih menarik dan sekaligus mengundang pertanyaan kritis adalah bahwa konformitas teman sebaya tidak berperan signifikan sebagai moderator dari hubungan tersebut.

Mari kita mulai dari realitas sosiokultural remaja masa kini. Penetrasi internet Indonesia telah menembus angka 215 juta pengguna pada tahun 2023 (APJII, 2023), dengan mayoritas waktu daring dihabiskan untuk menjelajahi media sosial. Dalam ruang ini, bukan lagi keluarga atau sekolah yang menjadi referensi utama dalam membentuk identitas dan perilaku remaja, melainkan algoritma, tren TikTok, dan validasi berbasis "like" atau "view".

Bagi seorang remaja, hilangnya akses sementara ke media sosial bukan sekadar kehilangan hiburan, melainkan ancaman eksistensial. FoMO sebuah istilah populer dalam psikologi modern berarti ketakutan akan tertinggal informasi, acara, atau pengalaman yang dialami orang lain. Dalam konteks ini, media sosial bukan sekadar alat komunikasi, tetapi panggung eksistensial tempat remaja mengukur nilai dirinya.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa FoMO mendorong seseorang untuk secara kompulsif memeriksa ponselnya, bahkan saat tidak ada notifikasi. Ketika perilaku ini dilakukan berulang dan mengganggu fungsi sosial serta akademik, muncullah kecanduan. Andreassen (2015) menjelaskan bahwa kecanduan media sosial memiliki indikator mirip dengan kecanduan zat adiktif: hasrat kuat, toleransi, gejala putus, dan gangguan aktivitas sehari-hari.

Mengapa FoMO bisa begitu dominan pada remaja? Alasannya sederhana namun kompleks. Masa remaja adalah masa pencarian identitas, di mana individu sangat sensitif terhadap eksklusi sosial. Ketakutan akan “tidak tahu apa yang dibicarakan teman” atau “tidak update dengan tren” bisa menjadi tekanan psikologis yang luar biasa. Sayangnya, lingkungan digital hari ini dirancang untuk mengeksploitasi ketakutan itu.

Dalam teori neuropsikologi, FoMO dapat dipahami sebagai bentuk kecemasan berbasis dopamin. Setiap notifikasi media sosial adalah potensi hadiah informasi baru, pujian, atau bahkan konflik yang menegaskan eksistensi digital seseorang. Ketika tidak aktif, otak memprosesnya sebagai kehilangan potensi hadiah, sehingga memicu kecemasan dan dorongan untuk kembali online.

Namun yang lebih ironis adalah peran konformitas teman sebaya. Banyak orang tua dan pendidik menganggap tekanan kelompok teman sebaya sebagai pendorong utama perilaku digital remaja. Tapi temuan penelitian ini menyatakan sebaliknya: konformitas tidak memoderasi hubungan antara FoMO dan kecanduan media sosial secara signifikan.

Jika bukan tekanan dari teman sebaya, maka siapa atau apa yang seharusnya kita tunjuk sebagai penyebab utama? Jawabannya: ekosistem digital yang dibangun untuk mempertahankan atensi. Kita hidup di era ekonomi perhatian, di mana waktu pengguna adalah mata uang. Perusahaan media sosial mendesain fitur-fitur seperti infinite scroll, auto-play, dan push notification untuk memastikan pengguna terus terpaku.

Dalam konteks remaja yang sedang membangun jati diri, algoritma ini berperan sebagai “guru bayangan”. Remaja belajar tentang apa yang “penting”, “menarik”, dan “berharga” bukan dari kelas atau rumah, tetapi dari konten yang paling banyak dilihat. Konformitas pun bukan lagi urusan kelompok sebaya nyata, tetapi peer digital yang luas dan tak terjangkau.

Oleh karena itu, ketidaksignifikanan konformitas teman sebaya dalam penelitian ini menjadi alarm bagi kita semua. Ini menunjukkan bahwa bahkan jika remaja tidak ditekan secara langsung oleh teman sebayanya, mereka tetap bisa mengalami FoMO dan kecanduan. Dengan kata lain: tekanan sosial kini datang dari layar, bukan dari manusia yang nyata.

Kecanduan media sosial bukan sekadar “masalah teknologi”, tapi persoalan kesehatan mental yang nyata. Beberapa studi menyatakan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan berkorelasi dengan peningkatan depresi, kecemasan, gangguan tidur, dan rendahnya harga diri (Twenge et al., 2018). Sayangnya, kita belum memiliki sistem pendukung yang memadai untuk menangani ini secara sistematis, baik di sekolah, rumah, maupun layanan kesehatan mental publik.

Kebijakan pendidikan kita belum secara eksplisit mengakui dan mengatasi kecanduan digital sebagai tantangan utama pembelajaran abad 21. Di sisi lain, orang tua sering kali merasa tidak berdaya menghadapi remaja yang lebih mahir teknologi dan lebih terhubung dengan dunia maya daripada dengan keluarganya.

Ironisnya, banyak orang dewasa pun mengalami FoMO dan kecanduan digital dalam bentuknya yang lebih tersamar: ketergantungan pada WhatsApp grup, obsesi terhadap email kerja, atau kecemasan tidak bisa update berita politik. Kita sedang menciptakan masyarakat yang selalu merasa “kurang”, karena tidak pernah sepenuhnya hadir di dunia nyata maupun digital.

Jika kita serius ingin mengatasi krisis ini, maka kita harus mulai dengan paradigma baru: membekali remaja (dan orang dewasa) dengan literasi psikodigital. Ini bukan hanya soal cara menggunakan teknologi secara bijak, tetapi juga memahami bagaimana teknologi memengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku.

Sekolah perlu menyusun kurikulum literasi psikodigital yang tidak hanya mengajarkan etika daring, tetapi juga mengenali gejala FoMO, strategi regulasi emosi, serta pentingnya digital detox. Intervensi berbasis sekolah yang mengintegrasikan pendekatan psikologi positif, terapi kognitif-perilaku ringan, dan pelibatan orang tua bisa menjadi salah satu jalannya.

Komunitas lokal dan lembaga keagamaan pun dapat berperan dalam menciptakan ruang sosial alternatif yang bermakna, sehingga remaja tidak hanya bergantung pada validasi digital. Kita butuh lebih banyak kampanye publik yang tidak hanya menyalahkan teknologi, tetapi memberdayakan penggunanya untuk mengambil alih kendali.

Penelitian yang dilakukan oleh Farid Soleh Nurdin dkk. seharusnya menjadi alarm bagi semua pemangku kepentingan pendidikan, kesehatan mental, dan teknologi di Indonesia. Kecanduan media sosial bukanlah gejala sesaat, tetapi tanda dari struktur masyarakat yang semakin menjauh dari keseimbangan psikososial.

FoMO bukan hanya istilah keren yang lalu-lalang di TikTok. Ia adalah bentuk kecemasan eksistensial yang diam-diam membentuk generasi baru yang cemas, rapuh, dan kehilangan jati diri. Jika kita tidak mulai bertindak sekarang dengan pendekatan yang ilmiah, empatik, dan kolektif kita mungkin akan kehilangan lebih banyak dari sekadar perhatian: kita akan kehilangan generasi.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak