Di tengah gempuran konten visual yang terus mengalir dari televisi, iklan, hingga platform digital seperti YouTube dan Netflix, perempuan masih kerap direpresentasikan secara sempit dan stereotipikal.
Dalam banyak film dan iklan, perempuan digambarkan sebagai sosok lemah, emosional, bergantung pada pria, atau semata-mata dijadikan objek visual untuk menarik perhatian.
Fenomena ini bukan hanya persoalan estetika, tetapi mencerminkan dan memperkuat konstruksi sosial yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Hal ini mengakibatkan terbentuk citra perempuan yang tidak utuh dan kadang tidak realistis.
Lalu, apakah media benar-benar mencerminkan realitas perempuan, atau justru membentuk persepsi yang menyimpang tentang siapa mereka sebenarnya? Mengapa perempuan lebih sering digambarkan dalam peran domestik, sebagai korban, atau sekadar pelengkap cerita?
Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijadikan ruang diskusi bersama, karena representasi bukan hanya soal siapa yang muncul di layar, tetapi bagaimana mereka digambarkan dan dampak apa yang ditimbulkan. Representasi yang tidak adil akan memperkuat ketimpangan gender yang sudah ada di dunia nyata.
Stereotip yang Mengakar dalam Karakter Perempuan
Salah satu pola paling mencolok dalam representasi perempuan di media adalah pembingkaian tokoh perempuan melalui stereotip lama.
Perempuan sering kali digambarkan sebagai "putri yang perlu diselamatkan", ibu rumah tangga yang penuh pengorbanan, atau tokoh antagonis yang emosional dan manipulatif.
Stereotip ini tidak hanya membatasi variasi karakter, tapi juga menciptakan ekspektasi sosial yang kaku terhadap perempuan di dunia nyata.
Dalam iklan, contohnya, perempuan lebih sering digambarkan sedang mencuci pakaian, mengurus anak, atau merias diri, sementara laki-laki diasosiasikan dengan kekuatan, logika, dan kepemimpinan.
Lebih jauh lagi, stereotip ini menciptakan ilusi bahwa nilai perempuan terletak pada penampilan fisiknya. Kamera kerap berfokus pada tubuh perempuan dengan sudut pandang yang menonjolkan sensualitas daripada kualitas karakter.
Objektifikasi ini tidak hanya mempersempit ruang eksplorasi peran perempuan, tetapi juga berisiko memperkuat budaya patriarki yang menilai perempuan berdasarkan daya tarik visual semata.
Perempuan sebagai Tokoh Utama: Kemajuan atau Simbolisme Saja?
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak yang menyambut baik kemunculan tokoh-tokoh perempuan sebagai pemeran utama dalam film atau serial populer. Tokoh seperti Captain Marvel atau Eleven dalam Stranger Things dianggap sebagai simbol kemajuan representasi gender.
Namun, tidak sedikit dari representasi tersebut yang bersifat simbolis atau tokenistic hanya menjadi pelengkap keberagaman tanpa penggambaran karakter yang kompleks dan manusiawi.
Di balik layar, masalah yang sama juga muncul. Perempuan masih sangat minim di posisi kreatif seperti sutradara, penulis skenario, atau produser.
Hal ini berpengaruh pada bagaimana cerita ditulis dan siapa yang diberi ruang untuk bersuara. Tanpa keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan kreatif, representasi perempuan tetap berisiko jatuh dalam pola lama meskipun tampak "progresif" di permukaan.
Dampak Psikologis dan Sosial pada Perempuan dan Masyarakat
Representasi perempuan di media bukan sekadar soal hiburan. Ia memiliki dampak psikologis nyata, terutama pada anak perempuan dan remaja yang sedang membentuk identitas diri.
Ketika mereka terus-menerus melihat bahwa kecantikan adalah nilai utama perempuan, maka harga diri mereka akan sangat bergantung pada standar fisik yang tidak realistis. Ini bisa memicu gangguan citra tubuh, rasa tidak percaya diri, bahkan depresi.
Selain itu, laki-laki pun terdampak dari representasi ini. Mereka dapat tumbuh dengan persepsi yang menyimpang tentang perempuan. Relasi antar gender menjadi timpang, karena dasar pemahamannya tidak setara. Oleh karena itu, penting untuk mendorong media agar menghadirkan perempuan secara lebih beragam, kuat, dan realistis.
Representasi perempuan di layar kaca bukan hanya soal kuantitas, tetapi juga kualitas. Sudah saatnya media berhenti menampilkan perempuan sebagai simbol atau pelengkap, dan mulai memperlihatkan mereka sebagai manusia utuh dengan kompleksitas dan kekuatan yang setara.
Lewat mengubah cara perempuan ditampilkan di layar, kita juga bisa mengubah cara masyarakat memperlakukan mereka dalam kehidupan nyata. Karena di balik setiap gambar, ada narasi besar yang membentuk kesadaran kolektif kita tentang gender, kekuasaan, dan kemanusiaan.