Menyikapi Potensi Gempa Megathrust sebagai Kesiapsiagaan, Bukan Malapetaka

Hernawan | Ahdian Azri Bustari
Menyikapi Potensi Gempa Megathrust sebagai Kesiapsiagaan, Bukan Malapetaka
Ilustrasi dampak gempa Megathrust (Pexels/Donur Aksel Anil)

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir aktif memberikan himbauan terkait potensi gempa megathrust berkekuatan besar di Indonesia. Melalui postingan akun resmi Instagram BMKG, diketahui setidaknya terdapat 13 zona gempa megathrust di Indonesia. Megathrust sendiri diartikan sebagai zona pertemuan antara dua lempeng dengan salah satunya menyusup ke bawah yang lain. Megathrust menjadi suatu yang patut diwaspadai sebab proses ini menimbulkan pengumpulan energi yang suatu saat dapat terlepas dalam bentuk gempa besar hingga tsunami.

Setiap kali muncul berita tentang potensi gempa bumi seperti diatas, tak sedikit dari masyarakat kita yang langsung merasa panik. Rasa-rasanya seperti menunggu malapetaka yang bisa datang kapan saja. Padahal, potensi gempa tidak dibuat untuk menakut-nakuti, melainkan untuk membantu masyarakat lebih siap jika sewaktu-waktu bencana tersebut benar-benar terjadi.

Indonesia memang termasuk negara yang tergolong rawan gempa bumi. Hal itu dikarenakan Indonesia berada tepat diatas pertemuan tiga lempeng besar aktif dunia. Berdasarkan keterangan Kepala BMKG dalam webinar “Resolusi 2025: Mitigasi Bencana Geologi”, Indonesia setiap tahunnya mengalami ribuan gempa dan tahun 2024 jumlahnya mencapai 29.869 kali kejadian gempa. Fakta tersebut semestinya menjadi landasan kita sebagai masyarakat untuk berpikir jauh terkait kondisi kita di masa mendatang. Maka dari itu, penting bagi kita untuk memahami bahwa potensi gempa bumi merupakan bagian dari upaya untuk menyelamatkan dan bukan untuk menakuti.

Bagaimana Potensi Gempa Bumi diukur?

BMKG dalam press releasenya, menerangkan bahwa potensi gempa bumi berbeda dengan prediksi. Potensi gempa lebih menekankan pada kemampuan sumber gempa untuk melepaskan energi gempa dengan kekuatan tertentu. Sementara prediksi lebih kepada kapan, dimana, dan seberapa besar kekuatan gempa tersebut terjadi yang mana hal ini masih terus dikaji oleh para peneliti karena belum adanya pengetahuan dan teknologi yang cukup untuk memprediksi gempa secara akurat. Tujuan dari pengukuran potensi sendiri adalah untuk mendapatkan informasi sehingga persiapan sebelum terjadi bencana dalam dilakukan sehingga dampak kerugiannya dapat bekurang.

Potensi gempa bumi dilakukan melalui berbagai pendekatan ilmiah. Mulai dari menganalisis kondisi geologi struktur seperti yang dilakukan oleh Hasan (2023). Kemudian,  Chasanah dan Handoyo (2021) yang menggunakan historis kejadian gempa bumi serta Yudha dan Sinambela (2024) yang melakukan pengukuran multimetode Geofisika. Selain itu, dengan berkembangnya dunia kecerdasan buatan (AI) dan IT saat ini, banyak peneliti yang turut menggunakan tools-tools dalam machine learning misalnya untuk mengukur besarnya kekuatan gempa bumi seperti yang dilakukan oleh Maulita dan Wahid (2024).

Malapetaka dan Ketakutan Hanya Memperburuk Keadaan

Menanggapi potensi gempa bumi sebagai malapetaka dan ketakutan tidak akan membuat kondisi kita maupun lingkungan sekitar menjadi lebih aman. Justru sebaliknya, hal-hal tersebut malah bisa membuat kita melakukan hal-hal yang tidak rasional maupun beresiko. Kesalahan memahami maksud dan tujuan potensi bencana seperti gempa akan menimbulkan berita-berita hoaks atau mitos-mitos yang mencekam di tengah masyarakat.

Anggapan-anggapan buruk terhadap potensi bencana dapat meningkatkan resiko bencana yang lebih besar. Analisis sederhananya seperti berikut. Jika bencana dianggap sebagai "takdir buruk" atau hal yang tak bisa dihindari, masyarakat akan cenderung tidak melakukan persiapan apa-apa. Tidak mengikuti simulasi atau mengabaikan peringatan dini. Belum lagi jika kita menyikapi potensi tersebut sebagai ketakutan. Stres, panik, dan kecemasan berlebih yang timbul malah akan mengurangi kondisi kesehatan psikologis kita sendiri. Munculnya stigma sosial seperti "daerah sial" atau "penduduk yang terkutuk" juga hadir sebagai salah satu dampak negatif terhadap pemikiran tersebut.

Potensi gempa seharusnya menjadi alarm kesiapsiagaan, bukan alarm ketakutan apalagi malapetaka kutukan dari Tuhan. Sebenarnya, potensi gempa itu ibarat potensi cuaca. Jikalau potensi mengatakan akan turun hujan, kita sudah pasti akan mempersiapkan payung atau jas hujan.

Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Kesiapsiagaan terhadap potensi bencana gempa bumi adalah langkah paling awal dan tepat yang mesti dilakukan. Kesiapsiagaan bisa dimulai dari hal-hal kecil, seperti mengetahui apa yang perlu dilakukan saat gempa terjadi baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Selain itu, mengetahui dan memahami rambu-rambu jalur evakuasi yang saat ini telah banyak terpasang di pinggir jalan juga dapat membantu di kemudian hari saat terjadi bencana gempa bumi.

Pemerintah sendiri melalui BNPB dan BPBD seringkali mengadakan simulasi atau edukasi terkait mitigasi dan kesiapsiagaan bencana. Bahkan tanggal 26 April ditetapkan sebagai Hari Kesiapsiagaan Nasional. Melalui website resmi BNPB misalnya, untuk tahun 2024 simulasi kesiapsiagaan bencana diprioritaskan pada 5 provinsi, yakni Bali, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, dan Sulawesi Tenggara. Keikutsertaan terhadap kegiatan-kegiatan seperti ini akan membentuk pribadi kita menjadi lebih siap dan paham. Ajarkan juga ilmu yang bermanfaat yang kawan-kawan peroleh kepada keluarga agar mereka juga dapat menyelamatkan diri bilamana bencana gempa benar-benar terjadi.

Penutup

Penerimaan informasi yang bijak terhadap potensi gempa bumi seharusnya membuat kita lebih waspada, bukan takut atau menganggapnya sebagai malapetaka. Anggapan buruk hanya membuat kita lumpuh, sementara kesiapsiagaan memberikan kita peluang untuk dapat bertahan dan selamat. Dengan memahami maksud dari potensi dan mengubahnya menjadi aksi nyata, kita bisa mengurangi risiko dan menyelamatkan lebih banyak nyawa.

Jadi, lain kali jika kawan-kawan mendapatkan informasi terkait potensi gempa bumi, jangan buru-buru menyebar ketakutan, kepanikan, apalagi menganggapnya sebagai malapetaka dari Tuhan. Akan tetapi, tenangkan diri, cari informasi resmi, dan mulai bersiap siaga sedini mungkin. Ingatlah bahwa menghadapi gempa bukan soal melawan alam, melainkan soal bagaimana kesiapan kita dalam menghadapinya. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak