Sri Mulyani: Pahlawan atau Simbol Kegagalan?

Hikmawan Firdaus | Fauzah Hs
Sri Mulyani: Pahlawan atau Simbol Kegagalan?
Sri Mulyani (Instagram/smindrawati)

Baca 10 detik
  • Ia menjaga stabilitas fiskal, namun kebijakan seperti subsidi dan pajak dinilai memberatkan masyarakat.
  • Warisan Sri Mulyani tetap terbelah: pahlawan global, tapi simbol jarak pemerintah dengan rakyat.
  • Sri Mulyani dipuji dunia sebagai teknokrat disiplin dan berpengaruh, tapi sering dikritik rakyat kecil.

Nama Sri Mulyani selalu punya magnet. Setiap kali muncul isu reshuffle, publik langsung bertanya, “Bagaimana dengan Bu Sri Mulyani?” Ada yang membelanya mati-matian, ada juga yang menyambut kabar pergantiannya dengan sorak-sorai.

Dan itulah uniknya Sri Mulyani, ia bisa jadi pahlawan di mata dunia, tapi juga bisa jadi musuh bagi rakyat kecil di tanah airnya sendiri.

Di panggung global, reputasi Sri Mulyani hampir tak terbantahkan. Pernah menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia, ia dikenal sebagai sosok teknokrat disiplin, pintar menjaga angka-angka, dan punya kredibilitas tinggi di mata pasar internasional.

Majalah Forbes bahkan sempat menobatkannya sebagai salah satu wanita paling berpengaruh di dunia. Investor asing senang, lembaga keuangan internasional hormat, dan diplomasi ekonomi Indonesia ikut terangkat berkat nama besarnya.

Tapi kalau kita turun sedikit ke jalanan Jakarta, atau ke pasar-pasar kecil di daerah. Sebagian rakyat punya cerita yang berbeda.

Bagi mereka, nama Sri Mulyani identik dengan kebijakan-kebijakan yang rasional di atas kertas tapi menyakitkan di lapangan. Kenaikan harga BBM, pemotongan subsidi, hingga pajak digital yang membuat belanja online terasa lebih berat, semuanya dikaitkan dengan tangan dinginnya.

Pertanyaannya, apakah Sri Mulyani memang pahlawan nasional yang rela menanggung citra buruk demi menyelamatkan APBN, atau justru simbol kegagalan sistem ekonomi neoliberal yang kerap lebih berpihak pada stabilitas angka ketimbang kesejahteraan rakyat?

Kalau melihat rekam jejaknya, Sri Mulyani memang terkenal keras dalam menjaga disiplin fiskal. Defisit APBN berusaha ia rem sekuat tenaga. Ketika pandemi Covid-19 melanda, ia termasuk salah satu yang paling cepat merespons dengan mengalirkan dana triliunan untuk pemulihan ekonomi.

Tapi kebijakan darurat itu juga meninggalkan jejak berupa utang negara yang melonjak. Per Juli 2025, utang pemerintah tercatat lebih dari Rp8.500 triliun. Para pengkritik pun bertanya, apakah ini harga dari kehebatan teknokratis yang selama ini diagungkan?

Di sisi lain, rakyat kecil sering merasa bahwa kebijakan fiskal ala Sri Mulyani tidak cukup berpihak pada mereka. Subsidi energi berkali-kali dipangkas dengan alasan tidak tepat sasaran.

Akibatnya, ongkos hidup melonjak, terutama bagi masyarakat miskin yang sangat bergantung pada harga BBM dan listrik. Sri Mulyani mungkin benar ketika berkata subsidi membebani APBN, tapi rakyat juga benar ketika berkata mereka yang akhirnya harus menanggung beban itu.

Tak hanya itu, banyak kalangan menilai Sri Mulyani terlalu “neolib”—istilah yang sering dipakai untuk menggambarkan kebijakan ekonomi pro pasar, pro investasi, tapi kurang memperhatikan perlindungan sosial.

Pajak karbon, misalnya, dipuji oleh dunia internasional sebagai langkah hijau, tapi bagi rakyat kecil itu artinya harga barang kebutuhan bisa naik lagi. Pajak digital dianggap modern, tapi bagi pedagang online kecil, ini berarti margin makin tipis.

Lalu di manakah posisi Sri Mulyani sebenarnya?

Jika kita melihat dari kacamata global, ia jelas sosok pahlawan. Tidak banyak pejabat Indonesia yang mampu menembus pengakuan dunia dengan konsistensi seperti dirinya.

Sri Mulyani membawa citra Indonesia sebagai negara yang mampu menjaga fiskal di tengah turbulensi. Tanpa figur sepertinya, mungkin Indonesia akan dipandang rapuh oleh pasar internasional.

Namun jika dilihat dari kacamata rakyat kecil, Sri Mulyani lebih seperti simbol jarak antara pemerintah dan masyarakat. Angka-angka makro ekonomi memang indah, inflasi terkendali, pertumbuhan stabil di kisaran 5 persen. Tapi di balik itu, daya beli rakyat stagnan, jurang kesenjangan tetap lebar, dan biaya hidup makin sulit dijangkau.

Inilah dilema seorang teknokrat. Apa yang terlihat heroik di ruang rapat IMF bisa terasa menyakitkan di warung nasi uduk. Apa yang membuat Indonesia dipuji di forum G20 bisa berarti uang jajan anak berkurang bagi buruh pabrik.

Lalu, apakah Sri Mulyani gagal? Tidak sesederhana itu.

Ia berhasil menjaga stabilitas, tapi mungkin gagal membumikan stabilitas itu agar bisa dirasakan merata oleh seluruh rakyat. Ia berhasil meyakinkan investor, tapi gagal meyakinkan sebagian besar masyarakat bahwa kebijakan fiskalnya berpihak pada mereka.

Warisan Sri Mulyani akhirnya mungkin akan selalu terbelah. Di satu sisi, ia dikenang sebagai Menteri Keuangan paling berpengaruh yang pernah dimiliki Indonesia. Di sisi lain, ia juga bisa dilihat sebagai simbol bagaimana teknokrasi sering kali buta terhadap realitas sehari-hari rakyat kecil.

Mungkin yang lebih tepat bukan memilih antara “pahlawan” atau “simbol kegagalan”, tapi menyadari bahwa Sri Mulyani adalah refleksi dari dilema besar bangsa ini, tentang bagaimana menjaga stabilitas fiskal tanpa mengorbankan keadilan sosial? Selama pertanyaan itu belum dijawab, figur seperti Sri Mulyani akan selalu menjadi kontroversi abadi di negeri ini.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak