- Aksi massa berujung pada pengunduran diri PM K.P. Sharma Oli, membuka jalan bagi Sushila Karki sebagai pemimpin interim.
- Generasi muda membuktikan suara mereka mampu mengubah arah politik
- Pidato Avishkar Raut, remaja Nepal, memicu gelombang protes Gen Z melawan korupsi, pengangguran, dan politik elitis.
Di sebuah negeri yang diapit pegunungan Himalaya, Nepal kembali menjadi sorotan dunia. Bukan karena keindahan alamnya, melainkan lantaran suara lantang seorang remaja belasan tahun yang menggetarkan ruang publik. Namanya Avishkar Raut, seorang siswa sekolah menengah yang sehari-hari dikenal sederhana, tiba-tiba menjelma simbol keberanian generasi muda. Pidatonya yang hanya berdurasi dua menit lebih sedikit itu, disampaikan di acara tahunan sekolah, telah memantik bara kemarahan dan harapan Gen Z Nepal.
Pidato itu sejatinya sederhana. Ia mengawali dengan menyebut mimpinya tentang Nepal baru, sebuah negeri yang adil, jujur, dan penuh harapan. Namun, kalimat berikutnya langsung menampar nurani: mimpi itu, katanya, kini terbakar oleh kenyataan pahit berupa korupsi, pengangguran, dan politik yang hanya mementingkan ego segelintir orang. Dengan metafora yang lugas, ia menggambarkan Nepal sebagai seorang ibu yang telah merawat anak-anaknya dengan penuh kasih. Sang ibu tidak meminta imbalan harta, hanya kejujuran dan kerja keras. Pertanyaannya, apa yang telah dilakukan rakyat untuk membalas budi ibu pertiwi?
Kata-kata itu menyambar seperti api di tengah padang kering. Generasi muda yang selama ini menahan amarah karena pengangguran tinggi dan akses ekonomi yang terbatas, menemukan cerminan perasaan mereka dalam suara Avishkar. Tidak berhenti di ruang aula sekolah, pidato tersebut merebak ke media sosial, melintasi layar ponsel, memantik diskusi, dan akhirnya melahirkan aksi massa di jalanan. Mereka membawa spanduk, berteriak lantang, dan menjadikan seruan “Jai Nepal” sebagai gema perlawanan.
Keberanian Avishkar menjadi sesuatu yang istimewa karena ia tidak berbicara dari panggung politik, bukan pula dari kursi kekuasaan. Ia berbicara dari hati seorang remaja yang seharusnya sedang sibuk dengan buku pelajaran dan mimpi masa depan. Kejujuran dan keberanian itulah yang membuat pidatonya berbeda dari jargon-jargon klise politisi. Ia tidak menawarkan solusi teknis, tetapi menyalakan kesadaran moral.
Keberanian ini lalu bergulir menjadi gerakan generasi. Gen Z Nepal turun ke jalan bukan hanya karena marah terhadap larangan media sosial, melainkan juga karena merasa suaranya selama ini diabaikan. Demonstrasi yang pecah menjadi bukti bahwa anak muda tak lagi mau menjadi penonton. Mereka bersedia mengambil risiko berhadapan dengan aparat, menghadapi gas air mata, bahkan ancaman peluru. Sejumlah korban berjatuhan, tetapi semangat itu tak padam. Justru semakin kuat ketika mereka menyaksikan bagaimana suara kolektif mampu menggoyang kursi kekuasaan.
Pengunduran diri Perdana Menteri K.P. Sharma Oli menjadi titik balik. Perubahan politik yang dramatis itu membuka jalan bagi munculnya sosok Sushila Karki, mantan Ketua Mahkamah Agung, sebagai perdana menteri interim. Gen Z menyambutnya sebagai simbol pemimpin bersih, figur yang dianggap berani dan tak mudah tunduk pada tekanan. Dukungan itu memperlihatkan bagaimana suara anak muda kini bukan sekadar riak kecil, melainkan arus besar yang menentukan arah politik negeri.
Keberanian Avishkar dan rekan-rekannya mencerminkan fenomena yang lebih luas. Di era digital, generasi muda tidak lagi hanya mewarisi panggung politik dari orang tua mereka. Mereka menciptakan panggung baru, dengan bahasa dan simbol yang lahir dari keseharian mereka sendiri. Pidato sekolah yang viral menjadi bukti bahwa medium komunikasi tak lagi ditentukan oleh struktur formal, melainkan oleh seberapa kuat pesan itu menyentuh hati orang banyak.
Namun, keberanian ini sekaligus menyimpan pertanyaan besar. Bagaimana suara lantang anak muda bisa diterjemahkan menjadi perubahan nyata dalam sistem politik? Bagaimana energi jalanan dapat masuk ke ruang kebijakan tanpa kehilangan idealisme? Pertanyaan itu masih menggantung, tetapi keberanian untuk memulai sudah menjadi langkah bersejarah.
Nepal kini berada pada persimpangan jalan. Di satu sisi ada harapan besar yang dititipkan pada figur bersih dan dukungan Gen Z. Di sisi lain, ada tantangan nyata berupa perlawanan dari kelompok politik lama yang enggan melepas privilese. Perubahan tidak selalu datang cepat, dan jalan menuju demokrasi yang sehat penuh lika-liku. Tetapi apa yang diperlihatkan oleh Avishkar dan generasinya telah memberi pelajaran penting: keberanian anak muda bisa mengubah arah sejarah.
Seperti yang dikatakan Avishkar dalam pidatonya, “Kami adalah api yang akan membakar kegelapan. Kami adalah badai yang akan menyapu ketidakadilan.” Kata-kata itu bukan sekadar retorika. Ia telah menjelma realitas, terpampang dalam wajah-wajah muda yang menolak diam, yang memilih berdiri meski tahu risiko menanti. Dalam keberanian mereka, dunia menyaksikan bahwa perubahan besar kadang lahir dari suara paling polos, suara yang berangkat dari mimpi sederhana tentang negeri yang lebih adil.