Peran perempuan dalam masyarakat kini sudah jauh berbeda dari dulu. Kalau dulu perempuan selalu dikaitkan dengan dapur, anak, dan urusan rumah tangga, sekarang mereka sudah bisa bersaing di dunia kerja bahkan menempati posisi strategis yang dulu hanya dikuasai laki-laki. Perempuan sekarang bisa berpendidikan tinggi, berkarier, punya penghasilan sendiri, dan berkontribusi nyata untuk keluarga maupun masyarakat.
Perubahan ini jelas hal yang positif. Namun di sisi lain, muncul tantangan baru, terutama bagi perempuan yang sudah menikah. Mereka dituntut menjalankan dua peran sekaligus: menjadi pekerja profesional di kantor dan ibu serta istri di rumah. Tak semua perempuan mampu menyeimbangkan dua dunia ini. Ada yang bisa membagi waktu dengan baik, tapi ada juga yang akhirnya merasa kewalahan dan lelah secara emosional.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2024 mencatat, ada 308.956 kasus cerai gugat di Indonesia, artinya perceraian yang diajukan oleh pihak istri. Angka ini tinggi, dan sebagian besar disebabkan oleh pertengkaran yang tak kunjung selesai serta masalah ekonomi. Fenomena ini memperlihatkan bahwa semakin banyak perempuan yang memilih mengakhiri hubungan ketika mereka merasa lelah secara mental maupun tidak mendapatkan keadilan dalam rumah tangga.
Salah satu pemicu yang sering muncul adalah soal nafkah. Dalam hukum Islam dan hukum negara, kewajiban mencari nafkah tetap ada di tangan suami. Hal ini diatur dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, serta ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 233:
“Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.”
Artinya jelas: suami bertanggung jawab atas kesejahteraan istri dan keluarga, baik secara materi maupun moral. Nafkah bukan hanya uang untuk kebutuhan sehari-hari, tapi juga bentuk tanggung jawab, perhatian, dan penghargaan atas peran istri yang telah mendedikasikan diri untuk keluarga.
Namun kenyataannya, di era modern banyak keluarga yang mengalami perubahan peran. Ada istri yang ikut bekerja membantu ekonomi rumah tangga, bahkan ada pula yang penghasilannya jauh lebih besar dari suaminya. Di sinilah gesekan mulai muncul. Beberapa suami merasa minder atau kehilangan wibawa, sementara istri merasa tidak dihargai karena sudah ikut menanggung beban ekonomi. Jika komunikasi tidak berjalan baik, masalah kecil bisa berubah jadi konflik besar.
Islam sebenarnya mengenal konsep ta’awun, yaitu saling tolong-menolong antara suami dan istri. Maksudnya, ketika salah satu kesulitan, yang lain boleh membantu tanpa merasa terbebani. Sayangnya, konsep ini kadang disalahgunakan.
Ada suami yang justru berhenti berusaha mencari nafkah karena merasa istri sudah mampu bekerja. Akibatnya, beban rumah tangga jatuh pada satu pihak saja, dan biasanya perempuanlah yang paling lelah.
Kasus Tasya Farasya sempat jadi contoh nyata di media. Ia menggugat cerai suaminya dan menuntut nafkah hanya sebesar seratus perak. Bukan karena ia tak mampu, tapi karena merasa haknya sebagai istri diabaikan.
Peristiwa ini memperlihatkan bahwa perempuan bisa saja mandiri secara finansial, tapi tetap memiliki kebutuhan akan tanggung jawab dan perhatian dari pasangan. Nafkah bukan sekadar nominal, tapi simbol cinta dan penghargaan.
Fenomena ini akhirnya membuat banyak perempuan muda berpikir ulang soal pernikahan. Tak sedikit yang memilih fokus pada pendidikan dan karier dulu sebelum menikah. Prinsipnya sederhana: “mapan dulu, baru menikah,” bukan karena ingin menyaingi laki-laki, tapi agar tidak sepenuhnya bergantung pada siapa pun.
Pada akhirnya, rumah tangga bukan soal siapa yang lebih kuat atau lebih banyak berkorban, melainkan tentang kerjasama dan saling menghormati peran masing-masing. Suami tetap pemimpin, tapi istri bukan sekadar pengikut.
Keduanya adalah mitra yang saling melengkapi. Sebab ketika cinta berjalan seiring dengan tanggung jawab, nafkah bukan lagi beban, melainkan bukti kasih yang menjaga hubungan tetap utuh.