Tidak semua kejadian besar dimulai dari drama yang megah. Kadang, hanya butuh satu angka kecil untuk membuka borok besar sebuah sistem. Dan angka itu, sobat Yoursay, adalah US$ 7.
Ya, tujuh dolar. Sekitar seratus ribu rupiah. Itulah harga yang tercantum dalam dokumen impor sebuah mesin yang ditemukan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam kunjungan kerjanya ke Bea Cukai Tanjung Perak, Surabaya. Padahal ketika dicek di marketplace, harga mesin yang sama berkisar Rp 40–50 juta.
Bayangkan seseorang menjual rumah seharga dua porsi ayam geprek. Tidak masuk akal? Persis.
Itulah yang disebut underinvoicing, seni gelap yang menyamarkan nilai barang agar bea masuknya kecil, pajaknya tipis, dan negara pun dirampok perlahan-lahan lewat angka-angka yang direkayasa.
Yang menarik, penemuan ini tidak membutuhkan audit berlapis atau algoritma canggih. Cukup cek harga online.
Dan itulah yang dilakukan Purbaya, sebuah langkah kecil, tetapi menjadi tamparan keras bagi kita semua. Bagaimana mungkin praktik seremeh ini bisa lolos bertahun-tahun?
Jika satu mesin saja nilainya bisa disulap dari puluhan juta menjadi seratus ribu rupiah, bayangkan jika skala kebocorannya terjadi secara nasional.
Underinvoicing bukan kejahatan receh, ini permainan besar yang merusak banyak hal sekaligus, dari pendapatan negara, persaingan usaha, hingga kepercayaan publik.
Masalahnya, kejahatan seperti ini sering terjadi senyap, tidak ada suara sirene, dan tidak ada berita mencolok. Underinvoicing bersembunyi dalam dokumen, angka, dan sedikit keberuntungan bahwa tak ada pejabat yang iseng buka marketplace.
UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime) bahkan menempatkan underinvoicing sebagai salah satu skema trade-based money laundering terbesar di dunia. Indonesia pun bukan pengecualian. Bertahun-tahun negara ini kehilangan potensi pemasukan karena manipulasi nilai barang impor.
Gampangnya, semakin kecil nilai barang yang dicantumkan, semakin kecil pungutan pajak dan bea masuk. Negara rugi, sementara importir nakal tertawa di balik layar.
Lalu, bagaimana trik ini bisa bertahan begitu lama?
Jawabannya tentu karena pengawasan yang lemah dan adanya ekosistem yang membiarkan.
Ada importir yang bermain angka. Ada broker yang tahu celah. Dan ada pejabat yang pura-pura tidak tahu. Dan ketika semua saling menguntungkan, negara pun jadi pihak terakhir yang diajak bicara.
Sobat Yoursay, Purbaya baru beberapa bulan menjabat sebagai Menkeu. Tapi ia sudah menemukan masalah yang sebetulnya sudah mengakar sejak lama.
Dan jika underinvoicing senilai tujuh dolar ini hanyalah satu dari sekian banyak contoh, maka PR yang menunggu di depan bukan hanya banyak, tapi juga sensitif.
Yang menarik, publik mulai melihat sisi lain Purbaya, bahwa ia tidak hanya bicara angka di rapat kabinet, tapi turun langsung melihat apa yang salah di lapangan.
Karena seringkali, persoalan negara bukan ada di perumusan kebijakan, tapi pada eksekusi yang meleset jauh dari aturan di kertas.
Sobat Yoursay, tidak semua orang siap melihat praktik underinvoicing dibongkar terang-terangan. Karena terlalu banyak kepentingan dan terlalu banyak yang selama ini mendapat untung sampingan.
Inilah musuh terbesar kebijakan fiskal, yaitu korupsi yang tidak terlihat, tidak tercatat, dan tidak viral.
Kita bisa marah soal korupsi miliaran rupiah di proyek besar karena jelas angkanya. Tapi underinvoicing menyedot uang negara sedikit demi sedikit, seolah tidak terasa, padahal lama-lama merusak seluruh sistem.
Kalau Purbaya benar ingin membersihkan ini, ia akan berhadapan dengan jaringan yang lebih kuat dari yang terlihat. Dan perang seperti ini jarang mendapat tepuk tangan.
Sobat Yoursay, apakah kita sebagai masyarakat benar-benar ingin sistem ini berubah?
Karena perubahan berarti harga bisa naik sesuai nilai sebenarnya, barang impor tidak lagi murah palsu, dan negara mulai menagih pajak yang seharusnya. Itu memang tidak selalu menyenangkan bagi sebagian orang.
Namun, kalau negara terus dirugikan lewat permainan tujuh dolar seperti ini, kapan kita bisa bicara pembangunan tanpa harus menyebut utang? Kapan kita bisa menuntut layanan publik yang layak kalau uang masuknya bocor di awal?