Distorsi Kognitif yang Membentuk Cara Kita Melihat Dunia

Hayuning Ratri Hapsari | Davina Aulia
Distorsi Kognitif yang Membentuk Cara Kita Melihat Dunia
Portrait of a Surprised Woman (Unsplash.com/Engin Akyurt)

Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang merasa kewalahan menghadapi tekanan, konflik, dan tuntutan yang datang bertubi-tubi. Ketika menghadapi situasi sulit, sebagian orang mampu tetap tenang dan memilih respons yang bijak, sementara yang lain mudah terpancing emosi atau mengambil keputusan yang merugikan diri sendiri.

Kemampuan untuk tetap stabil di tengah tekanan sering disebut sebagai resilience, yaitu kemampuan bangkit kembali dari kesulitan. Namun, tidak banyak yang menyadari bahwa daya tahan mental ini dapat terganggu oleh cara berpikir yang keliru.

Pikiran kita bukan hanya mencerminkan kenyataan, tetapi sering kali menafsirkannya secara berlebihan atau tidak proporsional.

Banyak perilaku impulsif atau reaksi emosional berlebihan sebenarnya bukan berasal dari situasinya sendiri, melainkan dari cara kita menafsirkannya.

Penelitian Barriga et al. (2000) yang berjudul “Cognitive Distortion and Problem Behaviors in Adolescents” menemukan bahwa ada empat kategori distorsi kognitif yang berperan besar dalam memengaruhi perilaku bermasalah, terutama pada remaja, tetapi juga relevan bagi orang dewasa.

Keempat distorsi ini bekerja secara otomatis, tersembunyi, dan sering tidak disadari. Memahaminya membantu kita meningkatkan resiliensi, memperbaiki cara merespons konflik, dan membangun hubungan yang lebih sehat.

Self-Centered: Ketika Dunia Terasa Berputar Mengelilingi Diri Sendiri

Distorsi pertama adalah self-centered thinking, yaitu kecenderungan melihat sesuatu hanya dari sudut pandang diri sendiri. Orang dengan distorsi ini merasa kebutuhannya lebih penting daripada orang lain.

Jika tidak mendapatkan apa yang diinginkan, mereka merasa diperlakukan tidak adil. Barriga et al. (2000) menjelaskan bahwa pola pikir seperti ini sering memicu perilaku agresif karena individu merasa bahwa orang lain seharusnya menyesuaikan diri dengannya.

Ketika seseorang terlalu berfokus pada diri sendiri, kemampuan untuk membaca situasi secara objektif berkurang. Mereka lebih mudah tersinggung, merasa dikhianati, atau menganggap kritik sebagai serangan.

Dalam konteks resiliensi, distorsi ini menghambat kemampuan untuk beradaptasi karena individu tidak mampu menerima bahwa dunia tidak selalu berjalan sesuai keinginannya. Mengurangi self-centered thinking membantu kita menjadi lebih fleksibel dan lebih mampu menghadapi kenyataan secara realistis.

Blaming Others: Menyalahkan Orang Lain untuk Menghindari Tanggung Jawab

Distorsi kedua adalah blaming others, yaitu kecenderungan menyalahkan orang lain atas masalah yang sebenarnya berasal dari diri sendiri.

Menurut Barriga et al. (2000), pola ini umum ditemukan pada individu dengan perilaku agresif karena mereka sulit mengakui kesalahan dan lebih memilih mencari kambing hitam. Meski tampak sepele, distorsi ini dapat merusak hubungan interpersonal dan menghambat pertumbuhan diri.

Sikap menyalahkan orang lain membuat seseorang sulit memperbaiki perilaku atau belajar dari kesalahan. Resiliensi membutuhkan kemampuan refleksi diri, sedangkan blaming others justru menutup pintu tersebut.

Ketika kita selalu melihat kesalahan di luar diri, kita kehilangan kendali atas perubahan. Mengakui peran diri sendiri dalam masalah bukan hanya soal kedewasaan, tetapi juga langkah penting untuk memahami pola pikir yang perlu diperbaiki.

Assuming the Worst: Melihat Segala Sesuatu dari Sisi Terburuk

Distorsi ketiga adalah assuming the worst, yaitu kecenderungan untuk menganggap bahwa situasi akan berakhir buruk atau bahwa orang lain memiliki niat negatif. Pikiran ini menyebabkan seseorang bereaksi berlebihan, bahkan sebelum sesuatu benar-benar terjadi.

Barriga et al. (2000) menekankan bahwa pola ini berkontribusi pada munculnya perilaku bermasalah karena individu cenderung mengambil tindakan defensif atau agresif berdasarkan asumsi yang tidak akurat.

Ketika seseorang selalu membayangkan skenario terburuk, kemampuan resiliensi melemah. Individu menjadi kurang berani menghadapi tantangan dan lebih mudah menyerah sebelum mencoba.

Pandangan negatif tentang dunia membuat seseorang lebih rentan terhadap stres dan sulit melihat peluang. Mengurangi pola ini membantu seseorang bersikap lebih realistis dan memberi ruang bagi hal-hal positif untuk terjadi.

Minimizing & Mislabeling: Meremehkan Dampak Perilaku Sendiri

Distorsi keempat adalah minimizing/mislabeling, yaitu kecenderungan meremehkan kesalahan atau membenarkan perilaku negatif.

Barriga et al. (2000) menjelaskan bahwa pola ini dapat membuat individu merasa tindakannya tidak memiliki konsekuensi, sehingga mereka tidak melihat perlunya memperbaiki diri.

Pola berpikir ini berbahaya karena merusak proses belajar. Jika seseorang selalu merasa tindakannya “tidak apa-apa,” ia tidak akan memahami dampak negatif yang ditimbulkan.

Dalam konteks resiliensi, distorsi ini menghambat perkembangan karena resiliensi memerlukan kesadaran diri dan kemampuan menerima konsekuensi. Mengenali bahwa suatu perilaku salah adalah langkah penting untuk pertumbuhan psikologis dan hubungan sosial yang lebih sehat.

keempat distorsi kognitif ini bekerja diam-diam dalam pikiran kita dan memengaruhi cara kita bertindak. Self-centered thinking mengurangi empati, blaming others menghalangi refleksi diri, assuming the worst melemahkan optimisme, dan minimizing/mislabeling menghambat perubahan perilaku.

Dengan memahami distorsi-distorsinya, kita dapat membangun resiliensi yang lebih kuat dan merespons masalah secara lebih dewasa. Seperti yang dijelaskan Barriga et al. (2000), mengubah cara berpikir adalah langkah pertama menuju perubahan perilaku yang nyata.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak