Sebuah data yang dirilis oleh GoodStats, merujuk pada survei CEO WORLD yang melibatkan 6,5 juta responden dari 102 negara, memberikan kabar yang, di satu sisi, melegakan, namun di sisi lain, menampar kesadaran kita.
Indonesia berada di peringkat ke-31 sebagai negara paling giat membaca, menempatkan kita dalam kategori “moderate reader”.
Berita ini cukup membuat para pegiat literasi tersenyum namun juga berpikir bahwa angka tersebut sepertinya masih bisa terus naik dan ditingkatkan.
Di samping dalam beberapa tahun terakhir banyak data yang mengklaim bahwa minat baca Indonesia sangat rendah yaitu 0.001 persen, yang berarti hanya satu dari seribu orang yang gemar membaca.
Namun, data tersebut juga nampaknya sudah kurang relevan dengan kondisi saat ini. Pasalnya minat baca masyarakat Indonesia saat ini sudah cukup baik, namun ada hal yang mungkin perlu lebih di tingkatkan lagi selain minat baca tersebut.
Angka ini cukup kompetitif, kita berada di atas banyak negara lain dengan rata-rata membaca 5.91 buku per tahun atau total 129 jam per tahun.
Namun, jika angka ini dipecah, kita akan menemukan realitas yang pahit bahwa orang Indonesia hanya menghabiskan kurang dari 25 menit per hari untuk membaca.
Data ini adalah pedang bermata dua, menunjukkan potensi besar sekaligus masalah serius yang mendalam dalam budaya literasi kita.
Sisi optimisnya, berada di peringkat 31 adalah kabar baik. Ini secara definitif membantah narasi yang mengatakan bahwa orang Indonesia tidak membaca sama sekali.
Ada basis pembaca yang kuat, pembaca yang konsisten menghabiskan hampir 6 buku per tahun, menantang stereotype anti-literasi yang sering disematkan.
Total 129 jam per tahun menunjukkan bahwa ada jutaan orang yang menjadikan buku sebagai bagian penting dalam hidup mereka.
Pencapaian ini patut diakui, terutama mengingat tantangan akses, tingginya harga buku yang seringkali banyak dipermasalahkan, dan gempuran distraksi digital yang luar biasa.
Namun, fokus harus beralih pada defisit waktu harian kita. Rata-rata 25 menit per hari, atau 10 hingga 11 jam per bulanadalah waktu yang sangat minimal.
Dalam konteks perkembangan intelektual, frekuensi membaca harian jauh lebih penting daripada jumlah total buku. Waktu yang singkat ini nyaris tidak cukup untuk terlibat dalam deep reading (membaca mendalam) yang kita butuhkan untuk melatih literasi kritis.
Waktu kurang dari 25 menit ini lebih cenderung mendukung kebiasaan scanning (membaca cepat melompat-lompat), di mana pembaca hanya mengambil intisari tanpa menganalisis konteks atau subteks.
Predikat "moderate reader" ini memiliki implikasi serius terhadap budaya literasi nasional. Status "moderat" berarti membaca masih dianggap sebagai aktivitas opsional atau hobi, bukan kebutuhan mendasar.
Kita belum mencapai tahap di mana membaca dilihat sebagai prioritas harian layaknya makan, tidur, atau bekerja. Perilaku ini menciptakan lingkaran setan jika masyarakat hanya membaca 25 menit per hari.
Mereka kurang terdorong untuk menuntut akses yang lebih baik atau berinvestasi pada buku yang mahal. Hal ini yang membedakan Indonesia dari negara-negara top tier yang memiliki rata-rata waktu baca jauh lebih tinggi seperti AS dan India, mereka menjadikan membaca sebagai kebutuhan primer.
Peringkat 31 ini seharusnya kita jadikan sebagai titik awal, bukan akhir. Tantangan sebenarnya bukanlah mendongkrak jumlah buku yang dibaca, melainkan mengubah prioritas waktu harian.
Mengubah 25 menit menjadi 45 menit per hari akan secara signifikan meningkatkan kualitas pemahaman dan literasi kritis kita, yang pada akhirnya akan berdampak pada kualitas diskusi publik dan keputusan pribadi.
Jalan menuju status negara giat membaca adalah dengan menanamkan konsistensi, mengubah membaca dari sekadar kegiatan opsional menjadi sebuah kebiasaan tak terhindarkan.