Salah Kaprah Budaya Bullying: Bercanda tapi kok Menyakitkan, sih?

Lintang Siltya Utami | e. kusuma .n
Salah Kaprah Budaya Bullying: Bercanda tapi kok Menyakitkan, sih?
ilustrasi perilaku bullying (Pexels/Yan Krukau)

Fenomena bullying di sekolah, lingkungan kerja, maupun komunitas digital sering kali muncul dengan pola yang sama, di mana pelaku menutupi perlakuan menyakitkan dengan alasan “cuma bercanda”. Padahal, candaan yang dianggap lucu tersebut sama sekali nggak bikin tertawa tapi seringnya malah menyakitkan.

Polanya selalu sama, kalimat bully yang bersembunyi dibalik kata “cuma bercanda” sering kali jadi tameng untuk meredam konflik hingga membuat perilaku buruk tersebut semakin berpotensi terus berulang.

Korbannya selalu didoktrin untuk menerima perlakuan itu demi dianggap nggak “baper” atau terlalu sensitif. Padahal, bullying yang dibungkus dengan candaan bukan hanya menyakiti secara emosional, tetapi juga dapat berdampak panjang pada kesehatan mental seseorang.

Budaya Menganggap Kekerasan Verbal Sebagai Hal Biasa

Salah satu alasan mengapa bullying sering dianggap bercanda adalah karena budaya yang menormalisasi kekerasan verbal. Di beberapa lingkungan, khususnya sekolah atau tongkrongan, saling mengejek dianggap tanda keakraban.

Lama-kelamaan, batas antara “bercanda sehat” dan “merendahkan harga diri orang lain” menjadi kabur. Banyak pelaku merasa wajar memberikan komentar pedas, baik tentang fisik, ekonomi, maupun kelemahan seseorang, karena hal itu dianggap bagian dari dinamika sosial.

Namun, candaan yang sehat seharusnya nggak membuat seseorang merasa rendah diri. Jika satu pihak merasa tersakiti, maka itu bukan lagi candaan, melainkan bullying.

POV Pelaku: Humor sebagai Tameng untuk Menghindari Konsekuensi

Hal yang membuat ‘budaya’ bullying semakin mengakar tanpa disadari dengan cepat karena pelaku menggunakan sudut pandang humor sebagai tameng untuk menghindari konsekuensi.

Perilaku ini bisa dibilang merupakan strategi pelaku untuk menghindari tanggung jawab saat dituntut atas tudingan perundungan. Dengan dalih “Cuma bercanda”, pelaku berharap nggak akan dicap sebagai pelaku kekerasan jadi nggak perlu minta maaf.

Respons Korban Dianggap Berlebihan Kalau Tersinggung

Di sisi lain, candaan pelaku yang sudah mengarah pada perilaku bully juga mendiskreditkan perlawanan korban. Saat korban merasa tersinggung, pelaku dan orang sekitar akan menilai kalau respons tersebut berlebihan.

Padahal, humor nggak bisa dijadikan alasan untuk menyakiti. Seseorang yang menggunakan humor agresif, misalnya mengejek atau mempermalukan orang lain, sebenarnya justru punya kecenderungan akan kebutuhan untuk mengontrol atau menguasai orang lain.

Dengan kata lain, keinginan membuat korban tampak “lemah” atau “nggak bisa menerima candaan” adalah bentuk manipulasi yang memperparah luka emosional.

Pada akhirnya, korban jadi takut untuk melawan karena khawatir dianggap nggak asyik dalam pergaulan sosial. Usaha pembelaan diri demi memperjuangkan batasan pribadi malah berujung pada tekanan sosial.

Akibatnya, korban terus memendam luka yang seharusnya nggak perlu ada. Padahal, setiap orang berhak menentukan batasan apa yang membuat dirinya nyaman, termasuk menolak candaan yang nggak lucu atau bahkan menyakitkan.

Ada Andil Lingkungan yang Membiarkan Bullying Berkembang

Masalah lain yang turut memperburuk situasi adalah lingkungan yang permisif. Banyak guru, orang tua, atau atasan di tempat kerja yang menganggap bullying sebagai hal sepele karena dianggap wajar di masa remaja, bukan masalah serius, atau mereka sendiri memiliki pola candaan serupa.

Ketika lingkungan nggak memberi batas tegas, pelaku akan merasa aman dan korban semakin merasa kehilangan tempat untuk mengadu. Lingkaran ini terus berulang dan menjadi budaya di tengah aturan sosial yang nggak memihak korban.

Di sisi lain, ada kemungkinan pelaku bully kurang bisa membangun empati dan nggak paham dampak psikologis yang dirasakan korban saat perilakunya sudah menyakiti orang lain.

Mereka umumnya nggak pernah belajar membaca ekspresi korban, memahami perasaan orang lain, atau dampak jangka panjang dari ucapan bercanda yang sebenarnya melukai hati.

Kurangnya edukasi tentang empati membuat banyak orang menganggap masalah ini sepele. Jika gagal paham perkataannya memiliki dampak serius, pada akhirnya candaan bisa menjadi senjata yang membahayakan mental orang lain.

Bagaimana Menghentikan Salah Kaprah “Cuma Bercanda” dalam Bullying?

Untuk menghentikan “budaya” bullying ini, diperlukan perubahan dari individu, kelompok, dan institusi. Sudah saatnya kita mengubah pola pikir kalau bullying adalah bagian dari dinamika sosial.

Dengan memahami batasan, meningkatkan empati, dan menciptakan lingkungan yang tegas terhadap kekerasan verbal maupun fisik, kita bisa menghentikan salah kaprah yang selama ini merugikan banyak orang.

Satu hal yang nggak kalah penting buat dipahami, candaan seharusnya membuat orang tertawa, bukan malah terluka.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak