Sering Tak Dianggap, Ini Dampak Bullying Bagi Bystander

Lintang Siltya Utami | Ernik Budi Rahayu
Sering Tak Dianggap, Ini Dampak Bullying Bagi Bystander
Ilustrasi Bystander (pexels.com/Mikhail Nilov)

Tak bisa kita pungkiri bahwa saat bullying terjadi, mata kita hanya bisa tertuju pada dua pihak yakni pelaku dan korban.

Hal tersebut tentu wajar adanya, mengingat amarah dan empati kita yang akhirnya hanya berpikir kepada dua pihak itu. Selain kedua pihak tersebut ada satu pihak lagi yang penting untuk dipikirkan nasibnya yakni, para saksi atau yang biasa dikenal dengan istilah bystander.

Dilansir dari media ReachOut, bystander didefinisikan sebagai saksi yang melihat atau mengetahui perundungan yang terjadi pada orang lain.

Mereka dapat menyaksikan perundungan di mana saja, termasuk: di sekolah, di tempat kerja, di tempat umum, atau daring. Bystander juga bisa dikategorikan sebagai pasif maupun aktif.

Walaupun terkesan tidak penting, namun menurut media StopBullying.gov, anak-anak yang hanya menyaksikan bullying pun mengalami dampak yang sangat serius, mulai dari stress dan kecemasan yang meningkat, lebih rentan menggunakan alcohol atau rokok, hingga memilih bolos atau menjauhi sekolah karena merasa lingkungan mereka tak lagi aman.

Walaupun mereka bukan target langsung, namun tak bisa dipungkiri bahwa mereka juga mempunyai beban psikologis yang berat akibat menonton bullying secara langsung.

Bystander: “Penonton” yang Dipaksa Menyaksikan Kekerasan

Dalam kenyataan maupun ruang digital, bystander selalu hadir sebagai seseorang yang punya posisi serba salah. Mereka yang melihat bullying terjadi, tidak bisa melakukan sesuatu untuk korban.

Walaupun ingin membantu mereka biasanya tidak memiliki kuasa atau keberanian untuk menghentikannya. Mereka memang tidak dipukul atau dihina, tetapi mereka juga menjadi saksi dari kekerasan yang meninggalkan jejak emosional.

Dalam banyaknya kasus yang terjadi, banyak fakta yang menunjukkan bahwa bystander sering mengalami stress witnessing, yaitu stres karena menyaksikan kekerasan tanpa kemampuan untuk bertindak.

Stress witnessing bisa muncul dalam berbagai bentuk seperti kecemasan, penurunan fokus belajar, hingga perubahan pelaku seperti menarik diri dari lingkungan.

Dampak dari Perasaan Bersalah yang Berkepanjangan

Seperti yang penulis bahas sebelumnya, diamnya bystander ini lah yang menjadi perasaan emosional dari diri mereka selanjutnya. Dampak yang dimaksudkan adalah rasa bersalah.

Rasa bersalah ini hadir bukan karena mereka melakukan kesalahan akan tetapi mereka merasa bersalah karena tidak melakukan apa-apa untuk menghentikannya.

Dalam psikologis, konsep ini dikenal sebagai guilt paralysis. Dilansir dari mychp, Rasa bersalah yang merugikan ini dapat menyebabkan kita terus memikirkannya dan merasa terjebak atau lumpuh.

Perasaan bersalah yang kronis ini dapat menyebabkan kecemasan, yang seringkali berujung pada depresi. Kita sering melihat rasa bersalah atau malu menyertai depresi.

Ironisnya, mereka yang memikirkan kesalahannya karena diam ini justru memikul beban yang tidak pernah diakui oleh siapa pun. Hal ini terjadi karena kita semua terlalu fokus kepada siapa pelaku dan korbannya.

Ketakutan Menjadi Target Berikutnya

Salah satu kerugian menjadi bystander adalah ketakutan karena menjadi target berikutnya. Alasan inilah yang membuat banyak bystander tetap diam.

Dalam dinamika bullying, pelaku biasanya cenderung mempunya kekuatan sosial yang lebih tinggi dan jika bystander berani menentang artinya mereka harus menghadapi resiko akan menjadi target selanjutnya.

Tidak heran jika banyak bystander menghindari berkontak langsung dengan pelaku dan korban bullying. Jika terjadi di sekolah, bystander juga akan mengalami gangguan mental yang berimbas pada masalah akademik.

Bystander Tak Punya Ruang Aman dan Bagaimana Hukum Melihatnya

Masalah yang jarang dibahas ketika terjadi bullying adalah bystander yang tidak punya ruang aman. Dalam sistem penanganan bullying cenderung fokus kepada pelaporan untuk korban dan pelaku.

Ruang aman untuk saksi inilah yang harusnya dibuat untuk para bystander. Mereka yang hanya dianggap menjadi saksi, padahal punya tekanan emosional yang serius. Seharusnya, pemerintah dan lembaga terkait harus bisa membangun ruang aman bagi para bystander.

Selain ruang aman, dari sisi hukum, posisi bystander ini juga tak sepenuhnya netral. Dalam kerangka perlindungan anak dan anti kekerasan di Indonesia, bystander diakui sebagai bagian penting dalam penegakkan hukum.

Artinya, hukum sudah memberi ruang mereka dengan menyediakan mekanisme untuk memastikan bahwa keberanian mereka tidak dibalas dengan ancaman.

Meski tampak gagah di atas kertas, namun di lapangan ketakutan bystander sering muncul antara regulasi dan realitas.

Tidak semua lembaga atau institusi menjalankan kewajiban yang berasal dari hukum. Kita harus menyadari bahwa tidak semua aparat siap dalam melindungi saksi bahkan tidak semua kasus bullying ditangani secara serius.

Akibatnya, banyak bystander yang memilih untuk tetap bungkam karena sadar bahwa dalam kondisi lapangan hukum tidak akan berdiri di belakang mereka.

Berdasarkan uraian dari penulis, sudah saatnya pembahasan bullying ini tidak hanya di fokuskan kepada pelaku dan korban.

Tetapi, juga saksi atau bystander. Bagi penulis, kita harus mulai melihat bahwa sebuah tindakan kekerasan punya banyak hal yang perlu dilihat dengan sudut yang luas.

Bystander adalah korban yang tak diakui, mereka diam bukan karena ingin aman melainkan tanda akan ketakutan yang berlebihan. Jika kita ingin menciptakan ruang yang aman, maka semua pihak yang terkena dampak dari bullying harus dilibatkan.

Karena dalam setiap kasus bullying, tidak ada yang benar-benar tidak terluka. Ada banyak pihak yang disakiti dan bagi penulis, mereka yang diam juga perlu untuk disembuhkan.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak