Abrasi tidak pernah datang sebagai peristiwa besar yang tiba-tiba. Ia bergerak pelan, nyaris tak terdengar, seperti jam pasir yang terus jatuh butir demi butir.
Di pesisir Seluma, Bengkulu, laut menggerus daratan sedikit demi sedikit, menghapus batas antara darat dan air, antara ruang hidup dan ruang yang hilang.
Yang tersisa bukan hanya garis pantai yang memendek, tetapi juga ingatan kolektif tentang sebuah wilayah yang dulu kokoh, teduh, dan hidup.
Bagi Masyarakat Adat Serawai, pantai bukan sekadar bentang alam. Ia adalah ruang produksi, ruang budaya, dan ruang sosial.
Hutan pantai yang mereka sebut Pengaling bukan hanya deretan pohon penahan angin dan ombak, melainkan bagian dari sistem kehidupan yang diwariskan lintas generasi.
Dari hutan itu, warga mencari makan, menata relasi sosial, dan menjaga keseimbangan antara mengambil dan merawat.
Ketika abrasi datang, yang pertama hilang bukanlah rumah, melainkan fungsi ekologis yang selama ini bekerja tanpa disadari.
Remis semakin sulit ditemukan. Laut semakin panas. Angin membawa garam lebih jauh ke darat. Semua perubahan itu terjadi perlahan, namun dampaknya terasa dalam kehidupan sehari hari.
Ketika Komunitas Menjadi Benteng
Dalam situasi krisis ekologis seperti ini, negara sering hadir dalam bentuk wacana, bukan tindakan nyata. Pemetaan dilakukan, kajian disusun, tetapi kehidupan warga terus terdesak.
Di tengah kekosongan itulah kolektivitas masyarakat adat menemukan momentumnya. Mereka tidak menunggu proyek besar atau intervensi teknokratis. Mereka bergerak dengan cara yang mereka kenal, yaitu bersama sama.
Perempuan adat mengambil peran penting dalam upaya pemulihan. Mereka menanam kembali pohon pinang dan kelapa di pesisir yang terkikis.
Tindakan ini tidak bisa dibaca sekadar sebagai aktivitas lingkungan. Ia adalah pernyataan politik dalam bentuk paling sederhana. Ketika negara lambat, komunitas bergerak. Ketika pasar abai, solidaritas bekerja.
Kolektivitas ini tumbuh dari pengalaman bersama menghadapi kehilangan. Setiap jengkal tanah yang hilang adalah pengingat bahwa bencana ekologis tidak berdiri sendiri. Ia berkaitan dengan cara ruang dikelola, siapa yang diberi akses, dan siapa yang disisihkan. Dengan bekerja bersama, masyarakat tidak hanya menanam pohon, tetapi juga menanam kembali rasa memiliki terhadap ruang hidup mereka.
Abrasi dan Politik Ruang
Dalam konteks ini, abrasi bukan sekadar fenomena alam, melainkan konsekuensi dari pilihan politik. Ketika hutan pantai dibuka, ketika pasir dikeruk, dan ketika masyarakat adat tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, maka laut hanya menunggu waktu untuk mengambil kembali apa yang dilemahkan.
Kolektivitas masyarakat Serawai menjadi penting karena ia menawarkan logika tandingan. Mereka tidak memandang alam sebagai objek eksploitasi, tetapi sebagai mitra hidup. Hubungan ini tidak romantis, tetapi praktis. Jika hutan rusak, kehidupan terganggu. Jika laut marah, semua terdampak.
Cara pandang ini lahir dari pengalaman panjang hidup berdampingan dengan alam. Ia tidak tercatat dalam dokumen kebijakan, tetapi hidup dalam praktik sehari hari. Ketika perempuan adat menanam kembali pohon di pesisir, mereka tidak hanya memulihkan ekosistem, tetapi juga menegaskan hak untuk menentukan masa depan ruang hidup mereka sendiri.
Kolektivitas sebagai Strategi Bertahan
Dalam banyak kasus, masyarakat adat sering diposisikan sebagai kelompok rentan. Namun cerita dari Seluma menunjukkan sisi lain yang jarang disorot. Kerentanan tidak selalu berarti pasrah. Ia bisa menjadi titik tolak untuk membangun strategi bertahan yang berbasis solidaritas.
Kolektivitas memungkinkan pengetahuan lokal bekerja secara efektif. Setiap orang tahu perannya. Ada yang menanam, ada yang menjaga, ada yang mengingatkan. Proses ini tidak selalu rapi, tetapi ia hidup. Ia bergerak mengikuti ritme komunitas, bukan tenggat proyek.
Namun kolektivitas juga memiliki batas. Tanpa perlindungan kebijakan dan pengakuan hak atas wilayah adat, upaya masyarakat akan terus berhadapan dengan tekanan struktural yang lebih besar. Abrasi akibat perubahan iklim global dan eksploitasi skala besar tidak bisa ditangani hanya dengan kerja komunitas.
Di sinilah negara seharusnya hadir, bukan sebagai pengatur dari jauh, tetapi sebagai mitra yang mengakui pengetahuan dan prakarsa lokal. Tanpa itu, kolektivitas berisiko menjadi upaya heroik yang terus menerus mengisi kekosongan tanggung jawab negara.
Merawat yang Tersisa
Abrasi di pesisir Seluma mengajarkan satu hal penting. Bahwa melawan krisis ekologis tidak selalu dimulai dari teknologi canggih atau anggaran besar. Ia bisa dimulai dari kesadaran bersama bahwa ruang hidup harus dirawat secara kolektif.
Apa yang dilakukan Masyarakat Adat Serawai bukanlah solusi instan. Ia adalah proses panjang yang menuntut kesabaran dan konsistensi. Tetapi di tengah laju kerusakan lingkungan yang kian cepat, justru proses semacam inilah yang menawarkan harapan paling realistis.
Ketika laut terus datang pelan-pelan, masyarakat memilih untuk tidak diam. Mereka membangun benteng bukan dari beton, tetapi dari solidaritas. Di pesisir yang terus terkikis, kolektivitas menjadi satu satunya cara untuk memastikan bahwa yang hilang tidak seluruhnya adalah masa depan.
