Imam Al Ghazali dan 3 Kelas Masyarakat Agama

Hernawan | Pekik
Imam Al Ghazali dan 3 Kelas Masyarakat Agama
Ilustrasi warga muslim Dagestan (Unsplash @rumanamin)

Siapa yang tak kenal Imam Al Ghazali. Ia adalah seorang filsuf sekaligus teolog yang sangat dikenal, khususnya bagi umat islam.

Mengutip Wikipedia, filsuf muslim yang bernama asli Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i ini dilahirkan pada tahun 1085 M atau 450 H di Iran.  Imam Al Ghazali juga dikenal di kalangan dunia barat sebagai Algazel di abad pertengahan.

Banyak ajaran-ajarannya yang menginspirasi. Perkembangan keilmuan Islam pun banyak dikontribusi olehnya.

Hampir dari setengah usianya, Imam Al Ghazali gunakan untuk mendalami dan mengajarkan keilmuan, hingga banyak tokoh dunia terkagum-kagum dengannya, atas karya dan ajaran sufistiknya.

Salah satu dari ilmunya adalah tentang pembagian masyarakat beragama ke dalam tiga kelompok. Pembagian ini tercipta atas pengamatannya kepada umat Islam secara umum dan pengalaman keberagamaan yang ia jalani.

Dengan adanya tiga pembagian kelompok masyarakat beragama ini, kamu diwanti-wanti agar tidak sembarang mencari ilmu. Belajarlah ilmu yang mudah untuk diamalkan dan bersifat praksis.

Berikut ini adalah tiga kelompok yang dimaksud Imam Al Ghazali, yang penulis sadur dari ceramahnya Dr. Fachruddin Faiz, seorang ahli filsafat islam, dalam kanal Youtube Yanz Channel:

1. Beriman tanpa banyak tanya

Kelompok masyarakat agama Islam pertama adalah orang-orang yang beriman tanpa banyak pertanyaan. Ia percaya apa saja yang diucapkan gurunya. Oleh Ghazali kelompok ini disebut sebagai orang-orang yang awam.

2. Beriman dan berusaha mencari dalilnya

Kelompok ini lebih kritis daripada golongan pertama. Biasanya mereka mendatangi majelis-majelis untuk belajar dasar dalil-dalil yang melatarbelangkangi keimanannya.

Kendati demikian, kelompok yang kedua ini tidak akan mencapai pada keyakinan yang teguh dari apa yang telah ia pelajari. Di samping itu, kelemahan lainnya adalah mudah lupa atas ilmu yang mereka pelajari.

3. Beriman dan menyelami sendiri keimanannya

Saat kamu membaca atau berdiskusi tentang sesuatu hal, tidak lama kemudian, apa yang kamu baca dan bahan yang kamu diskusikan sering lupa untuk diingat.

Kenapa bisa demikian? Hal itu terjadi karena apa yang kita baca atau yang kamu diskusikan itu tidak dialami sendiri. Lalu, di saat yang lain kamu ingat kembali. Itu karena ilmu tersebut sedang kamu alami.

Sebenarnya, pengetahuan yang kamu baca atau yang kamu diskusikan itu tidak hilang. Hanya mati dalam pikiran karena tidak kamu hidupkan dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh sebab itu, tugas dari seorang intelektual itu bukan saja menghafalkan kebenaran. Tapi, ia perlu menghidupkannya. Tak ada gunanya menjadi seorang yang intelek, kalau kebenaran yang ia ketahui hanya dikoleksi.

Hal tersebut juga terjadi di Indonesia yang sistem pendidikannya terlalu teknis. Orang-orang sama sibuk memikirkan bagaimana sistem pendidikan yang baik itu.

Padahal sistem pendidikan apapun, bisa diterapkan. Yang penting, mentalitasnya adalah pencari kebenaran. Jadi, kebenaran bukan hanya dihafalkan dan dikoleksi.

Syarat mutlak dari menghidupkan kebenaran adalah kebenaran itu harus hidup terlebih dahulu dalam diri kamu.

Maka, hidupkanlah kebenaran agar kamu menjadi kelompok beragama kelas tiga. Yakni, kelompok yang berusaha menghidupkan apa yang dia pahami. Semoga bermanfaat.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak