Generasi Z sering kali dipuji karena keterbukaannya dalam membicarakan kesehatan mental, sesuatu yang pada masa lalu mungkin dianggap tabu. Dengan semakin terbukanya diskusi mengenai topik ini, kita telah menciptakan ruang di mana orang merasa aman untuk berbagi tentang perjuangan mereka. Ini adalah kemajuan yang sangat positif. Namun, di balik kemajuan ini, ada fenomena yang mengkhawatirkan: kecenderungan di kalangan Gen Z untuk meromantisasi isu kesehatan mental.
Romantisasi ini sering kali terlihat di media sosial, di mana gangguan seperti kecemasan dan depresi digambarkan dengan cara yang estetis, seolah-olah penderitaan emosional adalah sesuatu yang "indah" atau "artistik." Fenomena ini menimbulkan pertanyaan serius tentang bagaimana kita, sebagai generasi, memahami dan menangani kesehatan mental.
Pada dasarnya, setiap orang pasti mengalami perasaan cemas, sedih, atau lelah. Ini adalah bagian alami dari kehidupan. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika perasaan-perasaan ini diinterpretasikan sebagai tanda dari gangguan mental yang lebih serius tanpa adanya diagnosis profesional. Penggunaan istilah kesehatan mental secara sembarangan, seperti menyebut perasaan gugup sebagai "anxiety" atau kesedihan sementara sebagai "depresi," berisiko mengaburkan pemahaman kita tentang apa yang sebenarnya dimaksud dengan gangguan mental. Hal ini juga bisa mengarah pada self-diagnosis yang tidak akurat, yang pada akhirnya dapat merugikan individu tersebut.
Lebih jauh lagi, romantisasi kesehatan mental dapat memiliki dampak yang merugikan pada mereka yang benar-benar berjuang dengan gangguan ini. Bagi mereka yang mengalami gangguan mental, perasaan tersebut jauh dari kata "indah." Gangguan mental adalah perjuangan berat yang mempengaruhi setiap aspek kehidupan, mulai dari kemampuan untuk bekerja, bersosialisasi, hingga menjalani aktivitas sehari-hari. Ketika gangguan ini direduksi menjadi sesuatu yang terlihat glamor, kita gagal menghargai betapa seriusnya tantangan yang mereka hadapi.
Selain itu, meromantisasi kesehatan mental dapat menciptakan stigma baru, di mana mereka yang tidak mengalami gangguan mental merasa terpinggirkan atau kurang valid. Ini bisa menciptakan tekanan sosial untuk "mengalami" gangguan mental, hanya demi merasa diterima atau relevan di komunitas mereka. Pada akhirnya, ini meremehkan perjuangan orang-orang yang benar-benar membutuhkan bantuan dan dukungan.
Sebagai generasi yang sering disebut sebagai agen perubahan, Gen Z memiliki tanggung jawab besar untuk lebih bijak dalam menangani isu-isu sensitif seperti kesehatan mental. Daripada ikut-ikutan dalam tren romantisasi yang berbahaya, kita perlu mengarahkan energi kita untuk menciptakan perubahan yang nyata dan positif. Ini berarti mendukung teman-teman kita yang sedang berjuang, mendorong mereka untuk mencari bantuan profesional, dan menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental.
Selain itu, penting bagi kita untuk terus mendidik diri kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita tentang pentingnya memahami kesehatan mental secara mendalam. Ini termasuk menyadari perbedaan antara perasaan normal dan gangguan mental yang membutuhkan intervensi. Kita juga perlu berhenti menggunakan istilah-istilah kesehatan mental secara sembarangan dan mulai menghargai beratnya perjuangan yang dihadapi oleh mereka yang benar-benar mengalami gangguan ini.
Kesehatan mental bukanlah tren atau label yang bisa digunakan untuk mendapatkan simpati atau pengakuan. Ini adalah aspek penting dari kesejahteraan yang harus ditangani dengan serius. Dengan menghindari romantisasi yang berlebihan dan lebih fokus pada dukungan yang nyata dan pemahaman yang mendalam, kita dapat menjadi generasi yang tidak hanya berbicara tentang kesehatan mental, tetapi juga bertindak untuk menciptakan perubahan positif yang berkelanjutan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.