Di desa, kehidupan berjalan dengan ritme yang damai, tapi di balik ketenangan itu, ada realitas sosial yang sulit dihindari: tekanan dari pandangan masyarakat. Bagi seorang sarjana yang belum bekerja, hidup sederhana di desa bisa menjadi ujian mental yang tidak main-main.
Sejak lulus kuliah, harapan besar sering kali datang dari orang-orang sekitar. Mereka berharap gelar sarjana akan otomatis membawa kesuksesan. Namun, kenyataan berkata lain. Tidak semua orang yang lulus dengan toga langsung disambut dengan pekerjaan bergaji besar. Bahkan di desa, lapangan pekerjaan terbatas, dan tidak ada jaminan pendidikan tinggi akan membuka pintu yang lebih lebar.
Menjadi Bahan Omongan
Mungkin ini salah satu tantangan terbesar: omongan tetangga. “Kapan kerja?” atau “Sarjana kok di rumah saja,” adalah komentar yang sering terdengar. Bukan sekali-dua kali, tapi berkali-kali hingga menyayat rasa percaya diri. Apapun alasannya—entah ekonomi, kurangnya lowongan kerja, atau minimnya peluang di desa—tetap saja pandangan negatif masyarakat menjadi beban.
Tetangga seolah lupa bahwa hidup sederhana bukanlah pilihan buruk. Tidak semua orang berlomba mengejar gemerlap kota. Ada yang memilih bertahan, merawat tanah tempat ia tumbuh, meski harus hidup dengan penghasilan seadanya. Sayangnya, konsep ini masih sering dianggap sebagai “kurang berusaha.”
Minimnya Peluang di Desa
Desa sering kali tidak menawarkan banyak pilihan karier. Pekerjaan yang ada mungkin berkutat di sektor agraris atau pekerjaan kasar lainnya, yang sering kali tidak sejalan dengan bidang pendidikan sarjana. Ironisnya, ketika mencoba bekerja di luar bidang tersebut, sarjana dianggap “menganggur” meski sebenarnya mereka sedang mencari jalan untuk bertahan.
Banyak yang akhirnya menyerah pada stigma. Beberapa pergi ke kota dengan harapan baru, sementara yang lain tetap bertahan, mencoba memutar otak mencari sumber penghasilan meski kecil. Apapun pilihannya, semuanya tidak mudah.
Menjaga Mental di Tengah Tekanan
Tetap waras di tengah situasi ini adalah prestasi tersendiri. Hidup di desa sebagai pengangguran sarjana berarti harus punya tameng mental yang kuat. Mungkin tetangga tidak tahu, setiap komentar yang dilontarkan bisa menjadi tekanan berat. Mungkin mereka juga tidak sadar bahwa hidup sederhana adalah pilihan yang membutuhkan keberanian besar.
Namun, di sisi lain, hidup sederhana juga mengajarkan hal-hal penting. Kita belajar untuk menghargai proses, menerima kenyataan, dan pelan-pelan membangun mimpi dari apa yang ada. Desa, meski penuh stigma, adalah tempat yang mengingatkan bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari gaji besar atau pekerjaan prestisius.
Menghadapi Omongan dengan Kepala Tegak
Tidak ada jalan pintas untuk meredam omongan orang. Satu-satunya cara adalah dengan menjalani hidup sebaik mungkin. Tetap produktif, meskipun tanpa pekerjaan formal. Mungkin membuka usaha kecil, membantu keluarga di sawah, atau bahkan mencoba sesuatu yang baru seperti menjadi penulis, pelukis, atau peternak.
Omongan tetangga mungkin tidak akan pernah berhenti, tapi pada akhirnya, yang paling penting adalah bagaimana kita melihat diri sendiri. Jangan biarkan stigma membatasi langkahmu. Dunia ini terlalu luas untuk terjebak oleh pandangan sempit.
Hidup sederhana di desa sebagai sarjana memang berat, tapi itu bukan akhir dari segalanya. Tetap percaya bahwa setiap usaha, sekecil apapun, adalah langkah maju. Biarlah omongan tetangga menjadi latar belakang. Fokuslah pada apa yang bisa kamu lakukan, karena masa depanmu hanya kamu yang menentukan.