Minggu ini, dunia dikejutkan dengan kasus yang terjadi di Kota Manchester, Inggris. Seorang pemuda bernama Reynhad Sinaga dengan keji telah memperkosa ratusan orang yang kesemuanya adalah pria yang mana sebagian besar adalah adalah pelajar dengan usia belasan tahun atau awal 20-an tahun.
Tindakan tersebut ia lakukan dalam kurun waktu 6 tahun sejak tahun 2011 sampai dengan tertangkap polisi pada tahun 2017 lalu. Tindakan keji tersebut dapat terungkap setelah salah satu korban tersadar saat perkosaan itu berlangsung, Dari kejadian tersebut polisi berhasil melakukan penyelidikan yang menemukan bahwa terdapat korban yang serupa yang jumlahnya fantastis, tidak terbayang sebelumnya, bagaimana dengan kejinya seseorang dapat melakukan perkosaan kepada lebih dari 190 orang.
Berita dari dalam negeri sendiripun tidak kalah mencengangkan, seorang guru yang sekaligus merangkap wali kelas di sebuah sekolah Dasar Negeri (SDN) di Yogyakarta tega melakukan pelecehan seksual kepada 12 siswinya. Kejadian tersebut dilakukan tersangka di antaranya di UKS yang mana korban diremas payudara dan alat kelaminnya dengan dalih mengajarkan mata pelajaran IPA kepada korban.
Di lain kesempatan, pelaku juga melakukan tindakan keji tersebut pada saat kegiatan kemah bersama. Pelaku mendatangi tenda empat korban lainnya, dan melakukan aksi yang sama yakni meremas payudara dan alat kelamin korban.
Menurut catatan Komnas Perempuan, selama tahun 2018 telah terjadi 406.178 kasus, yang mana jumlah ini meningkat 14% dari tahun 2017 yang berjumlah 348.446 kasus. Peningkatan jumlah kasus ini bukan berarti bertambahnya kekerasan kepada perempuan, namun seharusnya dilihat sebagai indikasi bahwa peningkatan keberanian korban untuk melapor dan kenaikan tingkat kepercayaan kepada lembaga-lembaga penegak hukum maupun lembaga pengada layanan.
Tentu ini preseden yang baik untuk penanganan kekerasan seksual ke depan karena korban telah berani untuk melaporkan pelaku kepada penegak hukum. Tentu saja hal ini tidak mudah kepada para korban karena selain melawan trauma juga mesti melawan stigma masyarakat.
Masyarakat masih banyak yang meyakini bahwa korbanlah yang bersalah karena dianggap menggoda, merayu, atau mengundang pelaku untuk melakukan kekerasan seksual tersebut. Selain hal di atas, terkadang media masa juga membuat posisi korban menjadi semakin terjepit. Media seolah serempak untuk membahas hal-hal seputan kejadian kekerasan seksual seperti memperlihatkan inisial para korban, tempat tinggal, pekerjaan, sekolah, orang tua dan hal-hal lainnya yang memudahkan orang lain untuk menelusuri korban tersebut.
Seperti yang kita tahu dari dua kasus di atas, korban dari kekerasan seksual tidak hanya para perempuan semata, para pria pun dapat menjadi korban kekerasan seksual. Kekerasan seksual dapat terjadi kepada siapa saja, terlepas dari gender, usia, jabatan maupun status sosial dari korban.
Pun anggapan selama ini bahwa kekerasan para korban terjadi karena diri korban sendiri pun semestinya gugur dengan sendirinya karena tak berdasar dan menandakan tidak adanya empati kepada para korban. Maka dari itu, perlu kiranya dibuat suatu sistem penanganan kekerasan seksual yang berpihak kepada para korban.
Untuk mencapai suatu sistem di atas tentu perlu didukung perangkat-perangkat yang ada yaitu sebagai berikut:
- Mengesahkan RUU Kekerasan Seksual
Pengesahan ini sangat mendesak untuk dilakukan karena cakupan definisi dari kekerasan seksual itu sendiri sudah sangat luas termasuk kekerasan seksual akibat marital rape. RUU ini merupakan terobosan yang luar biasa untuk penanganan kekerasan seksual.
- Merahasiakan Data Diri Korban
Korban kekerasan seksual adalah pihak yang mesti dilindungi kerahasiaan datanya. Tidak seorangpun yang berhak untuk menyebarkan identitas korban, data korban hanya ada pada pihak penegak hukum.. Selain itu peran media juga perlu mendukung kerahasiaan identitas korban baik media masa maupun media sosial tidak boleh menyebarkan identitas korban baik berupa maupun hal-hal lainnya yang dapat mengarah pada diri korban. Kerahasiaan data diri korban ini berlaku untuk selamanya.
- Memberikan Konseling bagi Para Korban
Korban sebagai pihak yang mengalami trauma yang mendalam akibat kekerasan seksual membutuhkan konseling untuk memulihkan trauma yang dialaminya. Negara harus hadir untuk penyembuhan trauma ini sampai kondisi psikologis korban benar-benar pulih seperti sedia kala.
- Membuat Database Pelaku Kekerasan Seksual
Mencatut Sexual Offender Act yang telah berlaku di banyak negara, perlu dibuat suatu database yang berisi profil dari pelaku kekerasan seksual meskipun masa hukuman pelaku telah habis. Database ini dimaksudkan untuk dapat diakses oleh masyarakat awam agar dapat membuat langkah-langkah pencegahan yang diperlukan jika pelaku tersebut tinggal di sekitar warga.
- Membuat Pendidikan Seksual Sejak Sedini Mungkin
Pendidikan seksual ini difokuskan untuk melakukan identifikasi macam-macam tindak kekerasan seksual, layanan pengaduan maupun layanan trauma healing pasca pengaduan. Materi ini nantinya paling sedikit diajarkan tiap tahunnya di masing-masing jenjang pendidikan dari tingkat TK sampai dengan SMA.