RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law sudah menjadi isu yang menggelinding di masyarakat. Sejauh mana masyarakat bisa mencerna isu terkait Omnibus Law jadi bahasan tersendiri.
Secara umum, RUU Omnibus Law Cipta Kerja mencakup 73 Undang-Undang yang akan direvisi secara bersamaan yang terdiri dari 15 bab dan 174 pasal.
RUU Omnibus Law juga akan memuat 11 klaster pembahasan yakni 1) Penyederhanaan Usaha, 2) Persyaratan Investasi, 3) Ketenagakerjaan, 4) Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM, 5) Kemudahan berusaha, 6) Dukungan Riset dan Inovasi, 7) Administrasi Pemerintahan, 8) Pengenaan Sanksi, 9) Pengendalian Lahan, 10) Kemudahan Proyek Pemerintah, 11) Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Pembahasan di RUU Omnibus Law ini amat luas. Sesuai namanya, RUU Omnibus Law ini berwenang untuk menghapuskan semua pasal-pasal di UU lama dan menggantinya dengan UU yang baru.
Semangat utama dalam perumusan RUU Omnibus Law ini adalah mempermudah masuknya investasi dengan memangkas semua alur birokrasi yang selama ini cenderung panjang dan rumit.
Catatannya adalah penyederhanaan sekian pasal dalam berbagai UU tidaklah sederhana sama sekali. Ahli dari pemerintah harus bekerja ekstra keras dan teliti.
Pertama, jangan sampai terjadi kesalahan teknis dalam penyusunan RUU Omnibus Law. Kesalahan teknis ini meliputi kesalahan tik, kesalahan penomoran, kesalahan mengutip pasal dari UU sebelumnya, kesalahan mengunggah versi terakhir dari sekian draf yang dibahas oleh Pemerintah dan kesalahan teknis lainnya.
Kedua, jangan sampai terjadi tumpang tindih hukum yang berlaku. Tujuan utama dari penyusunan RUU Omnibus Law adalah memberikan kepastian hukum. Jangan sampai dengan dihapuskannya beberapa norma hukum dalam UU sebelumnya justru memberikan kesalahan dalam norma-norma hukum. RUU Omnibus Law tentu tidak boleh bertentangan dengan sumber hukum yang lebih tinggi.
Adanya pasal yang memungkinkan seorang presiden merevisi UU dengan Perpress adalah sebuah contoh konkrit dari tidak cermatnya tim ahli dari Pemerintah dalam menyusun UU ini. Terlepas dari alasan Pemerintah bahwa pada pasal tersebut terjadi salah tik.
Ketiga, semangat pembentukan RUU haruslah menjadi payung hukum yang adil bagi semua pihak. RUU Omnibus Law akan menjadi UU yang sangat kuat karena mencakup banyak hal dan lintas bidang.
Jika RUU ini hanya berkutat pada kemudahan investasi dengan lebih mengakomodir kepentingan satu pihak (baca: pengusaha) dengan sedikit mengabaikan hak warga negara lain maka semangat RUU Omnibus Law ini berlawanan dengan prinsip demokrasi Pancasila.
Demokrasi Pancasila memerintahkan kepada pembuat kebijakan agar memperhatikan sebuah regulasi yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keempat, rakyat harus diberikan kebebasasan yang sangat cukup untuk memberikan catatan, kritik dan masukan terhadap RUU ini. Informasi dalam RUU Omnibus Law haruslah cukup diterima oleh masyarakat. Pemerintah harus secara terbuka menggarisbawahi beberapa pasal yang bisa mengubah sebuah tatatan yang saat ini berlangsung di masyarakat.
Jangan sampai justru pemerintah melakukan pendekatan dengan mobilisasi kekuatan milik pemerintah demi meloloskan RUU Omnibus Law versi pemerintah. Tidak boleh ada kuasa penuh dalam diri pemerintah dan memaksakan kehendak kepada rakyat untuk menerima sebuah peratuan perundangan.
Cukup UU KPK yang menjadi contoh, betapa kekuatan elite politik tidak mau menggubris desakan rakyat yang sudah meluap-luap turun ke jalan.
Survei Mahasiswa: Omnibus Law Tak Libatkan Kekuatan Sipil
Catatan-catatan diatas dapat dipahami lewat sebuah survei yang dirilis oleh Lokataru Foundation tentang Omnibus Law di mata para mahasiswa.
Selama 3 hari, Lokataru melakukan survei ke mahasiswa dari 18 Provinsi dan 77 kampus di Tanah Air. Ada 194 penanggap yang terdiri dari 142 laki-laki dan 38 perempuan.
Temuan yang dihasilkan adalah 93,3 persen responden pernah mendengar soal omnibus law. Sementara 6,7 persen sama sekali tidak pernah mendengar. Kemudian 56,7 persen responden pernah membaca draf RUU Omnibus Law, sementara 44,8 persen tidak pernah membaca.
Yang menarik dari temuan itu, mayoritas responden yakni 91,8 persen merasa tidak dilibatkan sebagai anggota masyarakat dalam penyusunan RUU Omnibus Law. Mayoritas sebesar 85,1 persen juga berpendapat jika Pemerintah Joko Widodo tidak melibatkan unsur akademisi dan masyarakat sipil dalam penyusunan Omnibus Law.
Responden juga memberikan tanggapan negatif saat Presiden Joko Widodo melibatkan BIN dan POLRI untuk mendekatai masyarakat yang tidak setuju RUU Omnibus Law. Kata kunci yang muncul adalah Neo Orde Baru, Otoriter, Represif, Intimidatif, Pembungkaman, Mencederai demokrasi, Cara yang kotor dan Berpihak pada investor.
Perlunya Mendengar Kekuatan Sipil
Pemerintahan Joko Widodo jilid II telah melakukan konsolidasi politik yang dominan. Kekuatan politik menjadi mengarah ke satu kekuatan yang sama baik di eksekutif maupun legislatif. Dominasi kekuatan politik yang dimaksudkan stabilitas politik memiliki celah-celah yang mesti ditutup.
Celah terbesar adalah enggannya elite dalam mendengarkan kekuatan sipil. Hari ini kekuatan sipil menjadi satu-satunya kekuatan penyeimbang dalam praktik politik di Tanah Air. Lewat kekuatan politik yang besar, Pemerintah bisa dengan mudah membuat dan mengesahkan UU baru tanpa menghiraukan suara kekuatan sipil. Revisi UU KPK dan mentoknya Pansus Jiwasraya telah menjadi contoh shahih dari diabaikannya kekuatan sipil.
Hal ini bertendensi akan terulang dengan mudah jika kekuatan eksekutif dan legislatif telah berselingkuh dari suara nurani rakyat.
Pemerintah dan legislatif yang pro pemerintah harus kembali memberikan ruang-ruang yang cukup bagi kekuatan sipil dalam penyusunan tata perundangan. Kemauan kembali untuk mendengar akan memberikan kembali kepercayaan bahwa kekuatan politik yang besar tidak akan digunakan sebagai kekuatan absolut yang cenderung kepada tindakan korup.
Oleh Hafidz Muftisany / Juru Bicara LKSP