Polemik Basis Data di Indonesia

Tri Apriyani | ferdinand david aritonang
Polemik Basis Data di Indonesia
Ilustrasi big data. (Shutterstock)

Di Indonesia sudah lebih dari 14.000 kasus terinfeksi corona setelah kemunculan pertama pada awal Maret 2020. Pemerintah Indonesia telah berusaha untuk menurunkan jumlah kasus positif salah satunya dengan menerapkan kebijakan PSBB.

Kebijakan PSBB mengharuskan adanya pembatasan aktivitas bagi seluruh masyarakat Indonesia. Pembatasan tersebut berupa adanya larangan berkumpul, larangan mudik, dan pembatasan aktivitas ekonomi. Kebijakan PSBB berdampak positif menekan laju penyebaran virus corona, tetapi di sisi lain berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia khususnya masyarakat miskin dan menengah kebawah.

Pemerintah Indonesia berupaya untuk mencegah semakin terpuruknya perekonomian dengan memberikan stimulus fiskal dan moneter. Stimulus fiskal yang diberikan berupa pembebasan pajak hotel dan restoran di 10 daerah wisata. Kemudian, stimulus fiskal lainnya adalah pemberian kartu sembako, pemberian subsidi untuk perumahan rakyat, dan pemberian kartu prakerja.

Kebijakan stimulus fiskal tersebut bertujuan untuk menjaga daya beli masyarkat di tengah merosotnya transaksi aktivitas ekonomi saat pandemi corona. Dari sisi moneter, pemerintah memutuskan untuk memangkas suku bunga acuan dan menurunkan rasio giro wajib minimum perbankan di Indonesia. Tujuannya adalah untuk memacu para pengusaha agar tetap berproduksi selama pandemi ini.

Pandemi corona di Indonesia diprediksi masih akan berlangsung lama. Dalam pelaksanaan PSBB, masih banyak ditemukan berbagai pelanggaran. Hal tersebut memunculkan pesimistis mengenai kapan berakhirnya pandemi corona tersebut. Alasan utama setiap penduduk yang melanggar PSBB, yaitu adanya himpitan terhadap pemenuhan kebutuhan ekonomi.

Jika memutuskan hanya berdiam diri di rumah, maka lama-kelamaan uang simpanan yang dimiliki akan segera habis. Kebijakan pembatasan aktivitas bagi sebagian pekerja harian sangat berdampak bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Seyogyanya, pemerintah menjamin keberlangsungan kehidupan setiap penduduknya dengan memberikan bantuan kebutuhan dasar setiap bulan. Namun, adanya keterbatasan dana menyebabkan pemerintah hanya dapat memberikan bantuan perlindungan sosial secukupnya.

Perlindungan sosial tersebut setidaknya dapat menjadi solusi jangka pendek bagi setiap penduduk untuk tetap bertahan di tengah pandemi corona yang tidak tahu kapan berakhirnya.

Di tengah ketidakpastian tersebut, pemerintah juga dihadapkan terhadap ketidakpastian mengenai basis data penerima bantuan pemerintah. Ketidakpastian tersebut disebabkan belum adanya integrasi data antar kementerian dan daerah.

Di beberapa kasus terdapat perbedaan data antara pemerintah pusat dan daerah yang memunculkan polemik baru mengenai data siapa yang benar. Kasus mengenai data yang saling tumpang tindih saat pemberian bansos antara pemerintah pusat dan pemerintah DKI Jakarta menunjukkan bahwa masih banyak berbagai versi data untuk satu subjek.

Akibatnya, bantuan yang diharapkan dapat meringankan beban masyarakat, malahan memunculkan permasalahan baru. Terdapat rumah tangga miskin yang menerima bantuan sebanyak 2 kali, yaitu dari pemerintah pusat dan DKI. Namun, ada juga rumah tangga yang sama sekali tidak menerima bantuan, padahal rumah tangga tersebut dikategorikan sebagai rumah tangga yang layak menerima bantuan.

Sejak ditandatanganinya perpres No. 39 tahun 2019 mengenai Satu Data Indonesia, belum ada implementasi nyata mengenai pelaksanaan perpres tersebut. Masih adanya ego sektoral antar kementerian dan pemerintah daerah menyebabkan pelaksanaan kebijakan Satu Data Indonesia masih jauh dari harapan.

Pada dasarnya, perpres tersebut memiliki visi untuk menyatukan berbagai data di Indonesia ke dalam 1 wadah sehingga tidak memunculkan kebingunan dari berbagai pihak mengenai keabsahan data tersebut.

Permasalahan data bansos selalu menjadi masalah klasik di Indonesia. Mulai dari kesalahan penerima bantuan, ketidaksiapan SDM pengelola, dan keterbatasan infrastruktur teknologi. Sebenarnya, kesalahan mengenai data penerima bantuan dapat diminimalisir dengan memanfaatkan teknologi berbasis big data sehingga mengintegrasikan data-data tersebut.

Badan Pusat Statistik (BPS) telah memulai inisiasi penggunaan teknologi big data di dalam mobile positioning data. Data yang dihasilkan setiap detiknya dapat menjadi segudang informasi yang dapat digunakan di dalam mengidentifikasi dan memetakan mobilitas penduduk di Indonesia.

Saat ini, pendataan di Indonesia masih berada di dalam proses transisi. Terdapat lebih dari 50 persen data-data yang dikumpulkan di Indonesia masih menggunakan cara-cara yang konvensional dan tradisional. Cara-cara konvensional tersebut seperti melakukan wawancara tatap muka terhadap responden dan menggunakan media kuesioner kertas di dalam pencatatannya.

Tak bisa dipungkiri bahwa wilayah Indonesia belum semuanya merasakan manfaat penggunaan teknologi secara merata. Masih terdapat beberapa wilayah terluar Indonesia yang bahkan tidak memiliki sinyal sama sekali. Keterbatasan untuk mengakses teknologi dan informasi tersebut yang menyebabkan hingga saat ini penggunaan teknologi sebagai basis data belum optimal.

Namun, selagi menunggu pemerataan pembangunan teknologi di semua wilayah, sudah saatnya Indonesia beralih menggunakan metode berbasis teknologi di dalam setiap pendataannya. Wilayah-wilayah yang terletak di Pulau Jawa misalnya dapat menjadi pilot project penerapan pendataan berbasis teknologi big data.

Sehingga, sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia, Indonesia dapat memetakan dan mengidentifikasi penduduknya. Pemetaan dan identifikasi karakteristik penduduk tersebut bisa menjadi basis data bagi pemangku kebijakan di dalam menghasilkan kebijakan-kebijakan yang tepat sasaran.

Sampai sejauh ini, pengukuran penduduk yang masuk kategori miskin dan tidak miskin sulit untuk mendapatkan gambaran yang benar sesuai keadaan di lapangan. Hal tersebut dipicu adanya dinamika kependudukan yang selalu berfluktuasi setiap harinya.

Pendataan mengenai penduduk miskin atau penduduk hampir miskin hanya dapat dilakukan dengan memotret keadaan mereka pada waktu tertentu. Waktu tertentu yang dimaksud adalah periode waktu selama pelaksanaan survei tersebut dilakukan. Selain itu, data yang dihasilkan juga masih perlu diolah dan baru akan dirilis pada periode berikutnya.

Permasalahan mengenai cakupan periode waktu dan time lag hasil pendataan menjadikan hasil dari pendataan tersebut sulit dijadikan basis data pada tahun berjalan. Seperti misalnya data kemiskinan yang dirilis pada tahun 2019 merupakan data hasil pendataan yang dilakukan pada tahun 2018.

Apalagi, jika data yang digunakan sebagai basis data merupakan data pada tahun yang sudah telalu lama dan tidak diperbaharui setiap tahunnya, maka keputusan yang dihasilkan akan menjadi bias. Berkaca dari permasalahan corona ini, mulai muncul ide-ide untuk memperbaharui metode-metode pendataan di Indonesia.

Metode-metode tersebut diharapkan dapat menghasilkan data yang lebih presisi dan cepat. Kedepannya, polemik mengenai basis data di Indonesia dapat segera teratasi sehingga kita tidak hanya berjalan di tempat hanya untuk mengurusi permasalahan administrasi tetapi berjalan selangkah lebih maju menangani permasalahan-permasalahan fundamental kehidupan penduduk Indonesia.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak