FEATURE: Malaikat Tanpa Sayap

Tri Apriyani
FEATURE: Malaikat Tanpa Sayap
Ilustrasi ibu dan anak (unsplash/liv bruce)

Sosok Ibu bagaikan malaikat tanpa sayap. Seorang anak tak bisa hidup jika bukan karena kehendak Sang Pencipta dan perjuangan dari seorang Ibu. Kasih sayangnya yang tak terbatas bagai jurang tanpa dasar atau bumi yang tak berujung.

Tangis kesakitan di tengah malam, membelah kesunyian dan udara dingin yang menusuk kulit. Ibu mempertaruhkan nyawa untukku, walau harus mempertaruhkan hidup dan matinya. Rasa sakit yang tak terbayangkan terkalahkan oleh kebahagiaan saat terdengar suara bayi kecil nan mungil menangis. Dan, lahirlah aku sesosok anak yang menjadi harapan masa depan Ibu.

Aku adalah anak laki-laki dari dua bersaudara dan sekaligus menjadi anak pertama yang mewarnai kehidupan keluarga kecil ini. Aku berjanji akan menjadi orang yang sukses untuk membuat bahagia Ibu ketika aku sukses nanti. Kelak nanti, aku akan membahagiakan Ibu dengan bekerja sekuat tenaga untuk membalas jasa Ibu walaupun itu tak sebanding.

Bagiku, sosok Ibu sangat mulia dan besar jasanya. Pahlawan tanpa pamrih bagi anak-anaknya. Guru terbaik dari seluruh guru. Pembantu yang tak pernah meminta dibayar sepeser pun. Pelayan yang sangat tulus melayani keluarga. Koki yang andal memasak bagi keluarganya. Dan Dokter yang paling telaten merawat keluarga.

Terkadang, Ibuku bisa menjadi harimau yang mampu mengeluarkan taringnya agar tidak ada yang bisa mengganggu anak-anaknya. Ibu juga tegas terhadap anaknya masalah pendidikan, karena pendidikan adalah hal yang sangat penting untuk saya ke depannya dan selamanya. Ibu berharap aku dapat meraih cita-citaku sesuai dengan apa yang aku inginkan.

Yang paling terpenting tidak lupa juga adalah masalah agama. Dari saya kecil aku sudah diajarkan kan tentang keagamaan, maka dari itu aku dimasukkan ke dalam pesantren untuk menimba ilmu keagamaan di sana agar kelak dapat berguna dalam dunia maupun akhirat.

Pernah suatu malam saat kuterbangun dari tidurku saat Ayah bekerja di luar kota, aku mendengar Ibu sedang berdoa kepada Tuhan dengan kedua tangan menadah. Ibu berdoa agar Tuhan menjaga, melindungi, memberi kesehatan, dan rezeki yang melimpah serta mendoakan kesuksesan keluarganya nanti kelak Bahagia di dunia maupun akhirat.  

Saat mendengarnya tubuhku bergetar, hatiku tersentak, dan tiba-tiba air mataku menetes begitu saja. Aku tak bisa berkata-kata betapa mulianya hati seorang Ibu. Terkadang, aku suka melawan perkataannya dan lebih suka bermain bersama teman sebaya dibandingkan ngobrol bersama Ibu, kini aku merasa tertampar oleh Tuhan dengan kondisi ini.

Terkadang, Ibu suka marah jika aku tidak mau disuruh melakukan pekerjaan rumah dan maunya seenaknya sendiri serta sulit jika diminta tolong olehnya. Namun, kini aku sadar jika hal-hal yang disuruhnya juga akan bermanfaat di masa depan kelak ketika aku sudah berumah tangga. Maafkan aku Ibu, yang terkadang mengabaikan semua kemauanmu.

Aku belum bisa membahagiakan ibu yang telah melahirkanku. Hanya kata maaf yang bisa kusampaikan kepada ibuku atas semua perbuatanku yang membuatnya terkadang kecewa. Ibu, terimakasih karena telah melahirkanku, menjagaku, merawatku, mendidikku, dan untuk semua kasih sayang yang telah kau berikan dari aku dilahirkan hingga kini menganjak dewasa.

Memang, sesukses dan semapan pekerjaan apapun aku di kemudian hari aku tidak bisa mengganti dan membalas semua jasa dan waktu yang kau habiskan untukku, Ibu. Tetapi aku akan berusaha menjadi apa yang ibu harapkan dan semoga kebaikan dan jasa-jasamu dibalas oleh Sang Maha Pencipta. Aku menyayangimu Ibu. Terima kasih telah merawatku.

Oleh: Muhammad Iqbal Ramadhan / Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta
Email: [email protected]

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak