Kegagalan Kepemimpinan Donald Trump dalam Meredam Emosi Massa

Tri Apriyani | muhammad raihan wibisana
Kegagalan Kepemimpinan Donald Trump dalam Meredam Emosi Massa
Presiden AS Donald Trump [AFP]

Kematian George Floyd pada tanggal 25 Mei 2020 memicu gerakan sosial yang sangat besar menuntut keadilan untuk George Floyd, isu rasisme dan mengakhiri kebrutalan polisi terhadap warga Amerika Serikat yang berkulit hitam.

Merespons tragedi ini Donald Trump mengatakan dalam inteview di Fox News bahwa kejadian ini adalah sebuah aib yang sangat memalukan dan harus ditindak lanjuti. Pendapat ini juga diikuti oleh tindakan nyata yang dimulai dari pemecatan Derek Chauvin pelaku pembunuhan dan ketiga rekannya.

Tidak hanya dipecat Derek Chauvin juga didakwa melakukan pembunuhan dan ketiga rekannya didakwa membantu dan bersekongkol. Dengan tindakan ini keadilan untuk George Floyd sudah terwujud.

Donald Trump juga menandatangani  perintah eksekutif pada tanggal 16 juni 2020 untuk membuat beberapa reformasi kepolisian. Perintah ini dibuat dengan harapan dapat mencegah kebrutalan polisi dengan memberikan pelatihan de-eskalisasi terhadap polisi dan mendorong kerjasama antara pekerja sosial dan polisi dalam penanganan kasus tanpa kekerasan.

Dengan adanya pemecatan dan pendakwaaan Derek Chauvin dan rekan kerjanya, lalu penandatangan perintah eksekutif untuk mereformasi kepolisian, tujuan dari gerakan sosial yang terjadi karena tragedi kematian George Floyd dapat dibilang sudah dicapai.

Namun protes berupa vandalisme terhadap patung-patung tokoh sejarah Amerika Serikat masih ada setelah tindakan-tindakan tersebut diambil. Hal ini dapat dikarenakan kurangnya empati yang ditunjukan oleh kepemimpinan Trump terhadap protester.

Menurut Bennis dan Goldsmith (1997) ada empat kualitas kepemimpinan yang harus dimiliki agar suatu kepemimpinan dapat menginsipirasi kepercayaan terhadap pemimpinnya, kualitas tersebut adalah visi, empati, konsistensi, dan integritas. Visi kepemimpinan Donald Trump terhadap kasus ini sudah jelas bahwa kasus tersebut merupakan aib dan harus ditindak lanjuti.

Donald Trump juga konsisten terhadap visi tersebut dengan tindakan yang dilakukanya. Keselarasan antara perkataan dan tindakannya juga membuktikan kepemimpinannya memiliki integritas. Namun Donald Trump tidak pernah menunjukan empati terhadap protes yang ada, sebaliknya tweet Donald Trump yang disampaikan diakun media sosial tweeternya terhadap protes dapat dinilai provokatif.

Salah satu respons Donald Trump yang dapat dinilai provokatif adalah ancaman penggunaan kekuatan militer untuk pembubaran protes yang ada. Dalam tweet itu Donald Trump mengatakan:

“These THUGS are dishonoring the memory of George Floyd, and I won't let that happen. Just spoke to Governor Tim Walz and told him that the Military is with him all the way. Any difficulty and we will assume control but, when the looting starts, the shooting starts. Thank you!"

"Preman-preman (demonstran) ini tidak menghormati George Floyd, dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Baru saja berbicara dengan Gubernur Tim Walz dan mengatakan kepadanya bahwa Militer bersamanya sepanjang jalan. Segala kesulitan dan kami akan mengambil kendali tetapi ketika penjarahan dimulai, penembakan juga dimulai. Terima kasih!"

Pendapat seperti ini dalam situasi yang sedang panas hanya akan menjadi bahan bakar untuk api yang sudah membara. Memang situasi protes pada saat tweet ini disampaikan sudah tidak kondusif, terjadi penjarahan dan vandalisme diberbagai tempat.

Namun, tidak semua protester berpartisipasi dalam penjarahan dan vandalisme yang terjadi banyak mereka masih memprotes secara damai.

Tweet ini tidak terlalu jelas ditujukan untuk siapa, protester yang anarkis atau yang damai, bahkan dapat dibilang Donald Trump mengeneralisasikan keduanya sebagai berandalan.

Dengan begini Donald Trump terkesan tidak peduli dengan tujuan dari gerakan sosial yang ada dan hanya menganggap mereka sebagai berandal yang harus dibubarkan dengan cara apapun.

Ancaman penggunaan kekuatan militer untuk membubarkan protes yang damai juga terkesan sangat represif. Hal ini dikarenakan protes adalah bentuk menyampaikan pendapat dan pembubaran secara paksa sama saja merampas hak mereka untuk berpendapat.

Di lain sisi penggunaan kekuataan militer untuk menindak lanjuti pelaku penjarahan dan vandalisme mungkin merupakan keputusan yang tepat, namun sayangnya ada ancaman penggunaan kekerasan dalam tweet-nya. Ancaman ini dapat dijadikan bukti bagi mereka bahwa Donald Trump tidak peduli atas protes yang ada dan dijadikan justifikasi bagi mereka untuk melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum.

Dalam menangani massa yang dipenuhi emosi tersebut adalah mencoba untuk menjelaskan baik-baik bahwa sudah ada tindakan yang diambil untuk menangani tuntutan mereka. Untuk penjarahan dan vandalisme yang sudah terjadi, pelakunya harus ditindak lanjuti dengan kekerasan seminimal mungkin agar massa tidak terprovokasi.

Kurangnya empati yang ditujukan dalam kepemimpinan Donald Trump dapat menjadi faktor utama kenapa banyak protester yang tidak puas atas tindakan-tindakan yang diambil dalam menangani kasus George Floyd, isu rasisme, dan kebrutalan polisi

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak