Pentingnya Memanusiakan Manusia di Masa Pendemi Covid-19

Tri Apriyani | JOKO AWAL SUROTO
Pentingnya Memanusiakan Manusia di Masa Pendemi Covid-19
Ilustrasi new normal (shutterstock)

Saat ini, umat manusia dan hampir seluruh negara tidak terkecuali Indonesia berada dalam suasana pendemi global. Sejauh ini, berdasarkan data Gugus Tugas Covid-19 kasus pasien positif Covid-19 di Indonesia sudah  menyentuh sekitar 260.000 orang. Dalam keadaan wabah seperti ini, upaya yang harus dilakukan adalah tetap merawat sikap yang benar. Ketika datang ancaman kesehatan, orang perlu perhatian serius dengan sikap yang tepat. Untuk menyikapi situasi seperti ini tidak boleh galau dan cemas, apalagi panik dan marah-marah sampai memiliki pikiran yang negatif.

Dalam kondisi emosi negatif, sistem imun dalam tubuh kita akan turun. Karenanya, kita harus tetap semangat, semangat menjaga kesehatan fisik dan mental, semangat berpikir positif, semangat membangun empati dan solidaritas serta tetap semangat membangun optimisme bahwa semua akan berakhir. Sebisa mungkin, kalau kita berada dalam kondisi yang sehat, kita harus tampil menjadi bagian orang yang membawa solusi terhadap permasalahan ini, bukan malah memperkeruh suasana.

Bangun solidaritas, bangun empati, kuatkan gotong royong sebagai budaya luhur bangsa Indonesia dalam setiap menghadapi permasalahan bangsa. Pepatah kita mengatakan “Berat sama dipikul ringan sama dijinjing”.

Selain itu menguatkan rasa kemanusian kita sebagai manusia yang sama-sama kita sepakati nilai-nilai Pancasila sebagai kepribadian kita berbangsa dan bernegara. Saat ini rasa kemanusiaan kita sebagai bangsa Indonesia yang berjiwa Pancasila sedang diuji.

Mengutip kepala departemen kedokteran forensik dan medikolegal Rumah Sakit Umum dr. Soetomo Surabaya, dr. Edi Suyanto, SpF SH MH; “Secara ilmiah ilmu kedokteran korban atau jenazah kemungkinan menularnya sudah tidak ada, apalagi virus corona harus hidup pada inangnya. Inangnya sudah mati, virusnya juga ikut mati yang sama dengan HIV/AIDS sama H5N1 (flu burung)”.

Dari pernyataannya sudah sangat terang benderang jika tidak akan menularkan. Pasien positif Covid-19 yang akhirnya sakit tidak boleh dijenguk keluarga dan kerabat, dan kalau meninggal proses pemakamannya dilakukan dengan proses dan protokol tertentu, dan yang bisa menghadirinya sangat terbatas.

Sebagai manusia yang memiliki rasa kasih dan sayang, tegakah kita ada keluarga, kerabat, atau teman hendak mendoakan di pemakaman diperlakukan seperti itu. Sehingga apabila kita mengucilkan, menjauhi, mengusir, menghakimi apalagi menstigmatisasi itu sangatlah berbahaya karena akan membuat siapa pun yang merasakan gejalanya enggan dan takut untuk melapor dan memeriksakan diri.

Jika mereka enggan dan tidak mau melapor takut diusir, dicemooh dan dihakimi yang akan rugi adalah kita semua, virus Covid-19 menjadi tidak terdeteksi sehingga akan menyulitkan untuk memutus rantai penyebaran. Kita harus mengingat kata-kata orang bijak, jauhi penyakitnya bukan orangnya.

Seharusnya ini menjadi nasihat dan pegangan kita, cukup dengan menjaga jarak, jangan sampai mengusir atau mengucilkan. Berdasarkan prediksi WHO, wabah Covid-19 masih akan berlangsung panjang, tentunya gesekan dan guncangan sosial akan bisa terjadi, dan inilah saatnya kita, bangsa Indonesia untuk memperkuat solidaritas dan gotong royong.

Jarak secara fisik memang direnggangkan, tapi sebaliknya tali ikatan sosial harus dirapatkan. Karena kita tidak bisa dan tidak akan bisa mengatasi wabah ini secara sendirian. Egois harus dihilangkan dan diganti dengan solider, kita harus jaga jarak dengan penyakit bukan dengan kemanusiaannya.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak