Problematika Kisah Sepakbola Nasional di Pusaran Pandemi

Tri Apriyani | Gayuh Ilham
Problematika Kisah Sepakbola Nasional di Pusaran Pandemi
Pelatih Bali United, Stefano Cuggura Teco. (dok. Bali United)

Satu bulan lagi, tepatnya bulan Maret 2021 kita bakal merayakan satu tahun berhentinya kompetisi sepakbola di tanah air. Matinya siklus kompetisi akibat dampak Pandemi Covid-19 ini memang tak bisa dihindari. Akibatnya, Industri persepakbolaan nasional mengalami cobaan tiada henti. Lantas apakah berimbas negatif pada situasi sepakbola nasional setahun ini ?

Jawabannya, ada! Sebab masalah klasikal setahun ini sudah muncul jelas ke permukaan serta membawa dampak cukup merisaukan. Ragam permasalahan sejauh ini terlihat makin kompleks. Sebut saja hilalngnya pendapatan operator liga, klub peserta, sampai dengan pemain yang harus rela menerima gaji alakdarnya sesuai keadaan, hingga kepergian pemain berkualitas untuk mencari penghidupan di negara tetangga dengan kompetisi lebih menjanjikan.

Kantong Tipis

Mulai dari penetapan Force Majeure oleh PSSI untuk gelaran Liga 1 juga membuat kantong PT LIB (Liga Indonesia Baru) dan klub peserta seret pemasukan dari sponsor. Diketahui sejak tanggal 27 Maret silam sponsor tiap tim sudah sepakat menyumpat kran dukungan finansial karena kompetisi resmi dihentikan. Termasuk mundurnya Shopee selaku sponsor utama kian menambah runyam masalah.  

Meski angin segar sempat menghampiri tatkala Federasi merencanakan kompetisi mulai bergulir bulan Oktober 2020. Namun, tanpa dinyana kekecewaan mendalam kembali dirasakan. Dua hari menjelang 1 Oktober (tanggal kompetisi seharusnya  dimulai) harus batal secara percuma akibat kepolisian tidak memberi restu kepada PSSI untuk kembali melaksanakan kompetisi dengan alasan persebaran Covid-19 masih melonjak naik.

Alhasil, PT LIB bersama PPSI tidak bisa menjalankan lanjutan turnamen dan kesulitan untuk memberikan subsidi ke 18 tim peserta Liga 1. Klub peserta semakin kelimpungan untuk memenuhi kebutuhan finansial klub. Selain itu, beberapa klub juga terpaksa menunggak gaji pemain dengan alasan seretnya pemasukan imbas dari kompetisi yang mandek.

Federasi Plin-Plan

Kembali ke ranah pelaksanaan kompetisi yang pada Oktober 2020 nampaknya akan kembali dilanjutkan sempat membuat semua orang menghirup nafas segar bahagia. Kerinduan akan sajian tim kesayangan ‘memadu kasih’ meraih kemenangan ngebet terealisasi. Tapi, publik kembali dibuat sakit hati, pemberhentian sepihak dua hari sebelum tanggal pelaksanakan bukanlah perilaku yang dewasa, terutama bagi federasi nasional olahraga sekelas PSSI.

Kondisi wabah yang masih mengkhawatirkan memang sebuah kemakzulan yang juga harus disikapi dengan arif. Kita mengerti, kesehatan bersama adalah hal paling berharga sekarang ini. Tapi di lain sisi, pemberhentian kompetisi memang menyakitkan, terlebih PSSI terlihat kurang kompeten dalam hal ini. Mereka mengambil keputusan tanpa memandang sebab akibat.

PSSI seharusnya lebih bisa mengkoordinir keadaan, ada baiknya mereka lebih bisa konsisten melakukan lobi kepada POLRI atau jajaran pendukung lain agar masalah tersebut tidak serta merta menjadi bumerang menyesakkan bagi insan sepakbola tanah air. Jika seharusnya kompetisi sudah tidak bisa dilanjutkan, atau tidak mendapatkan izin dari pihak terkait, PSSI seyogyanya bisa memberitahukan lebih awa tentang itu Ya minimal seminggu atau baiknya satu bulan sebelum memasuki periode Oktober 2020 kemarin.

Hal itu acapkali sungguh tidak mengenakkan di samping kabar kelanjutan Liga 1 akan dilaksanakan dalam lingkup beberapa wilayah yang mengharuskan tim dari luar jawa harus terbang ke wilayah tuan rumah seperti yang Persipura lakukan. Mutiara hitam sedianya sudah berada di Yogyakarta dua bulan sebelum hari kick off, mereka sudah melakukan pemusatan latihan. Namun dengan apa yang PSSI lakukan menghancurkan semuanya, pun hal tersebut tidak berlaku bagi Persipura semata.

Juru taktik Persib Bandung, Robert Renne Alberts pada 9 Oktober 2020 sempat mengutarakan saran untuk federasi PSSI supaya konsisten dalam pengambilan keputusan. Meskipun dalam tanda kutip situasi sedang sulit, Renne mewanti  PSSI agar tegas mengambil langkah sehingga tidak membingungkan semua orang.

Seperti yang sedang dialami oleh semua tim, keputusan plin-plan Federasi juga menyebabkan kerugian finansial tidak sedikit di tengah sulitnya masukan dana, mandeknya sponsor, setiap tim mencoba berlomba mempersiapkan yang terbaik untuk mengarungi kelanjutan kompetisi. Namun dengan segala harap dan kekecewaan, PSSI secara langsng juga menghancurkan sirkulasi dana klub peserta.

Kewajiban terpinggirkan

Pada bulan November 2020, PSIS Semarang mengakui bahwa mereka telat membayar gaji pemain. CEO PSIS Yoyok Sukawi mengungkapkan ketimpangan terjadi akibat ketidakjelasan kompetisi. Hal itu menurutnya sangat berimbas terhadap masalah keuangan. Menejemen PSIS menyatakan timnya sudah merogoh kantong untuk persiapan lanjutan kompetisi Liga 1 2020 di tengah minimnya pemasukan.

Tidak hanya PSIS, Persipura malahan mengalami masalah lebih serius. Pada awal Januari  2021, tim mutiara hitam memutuskan untuk membubarkan tim akibat salah satu sponsor utama mereka Bank Papua menolak melunasi sisa kontrak. Ketua Umum Persipura Benhour Tomi mengatakan Bank Papua enggan membayar sisa kerjasama senilai 5 miliar. Sehingga sejak Maret 2020 lalu. Tim yang bermarkas di stadion Mandala Jayapura itu hanya ditopang oleh dua sponsor dan tambahan anggaran pribadi dari menejemen.

Menyikap kesulitan bersama, PSSI lantas mengeluarkan maklumat melalui surat Keputusan (SK) SKEP/48/III/2020 yang terbit 27 Maret 2020. Isinya PSSI menerbitkan kebijakan bagi setiap klub peserta Liga 1 dan Liga 2 musim lalu untuk memotong gaji pemain dan pelatih dengan ketentuan maksimal pemangkasan yaitu 25 persen dari bulan Maret sampai Juni 2020.

Sampai sekarang, embel-embel kebangkitan Persipura masih belum jelas. Hal itu terasa sangat merugikan, terlebih Persipura kini menjadi salah satu kontestan  AFC Cup 2021. Mereka akan menjalani babak play-off sebelum melenggang ke putaran grup. Akan tetapi, sampai detik ini persiapan masih belum terlihat padahal laga play-off bakal dilaksanakan bulan Mei 2021 mendatang.

Talenta Berbakat ‘pergi’

Kompetisi Liga 1 yang masih mandek membuat pemain kelimpungan mencari cara agar tetap bugar dan bisa bermain untuk menjaga kualitas. Sehingga beberapa pemain yang merumput di tanah air ada yang memilih opsi untuk angkat koper dari Indonesia. Sebut saja Makan Konate yang hijrah ke Malaysia, sampai dua pemain muda berbakat, Syahrian Abimanyu dan Bagus Kahfi memilih jalan kesempatan mengadu nasib di negeri orang

Abi resmi berlabuh ke klub kasta tertinggi Liga Australia Newcastle Jets pada Jum’at 5 Februari 2021 kemarin yang bersamaan dengan diresmikannya kedatangan Bagus Kahfi ke FC Utrecht Belanda. Kepergian kedua pemain belia tersebut adalah sebuah titik cerah masa depan sepakbola sekaligus bukti komepetisi domestik kurang bergairah.

Berlabuhnya pemain potensial seperti Bagus memang menjadi bentuk awal kemajuan sepakbola Indonesia yang menjadi dambaan selama ini. Soal kepergian Abi dan Kahfi, mereka ada cerminan kemajuan pemain sepakbola kita. Saya melihat dalam diri mereka ada tekad sepakbola masa depan yang menjanjikan.

Program Garuda Select yang telah berlangsung di Inggris kemarin jadi bukti pemerintah cukup serius untuk regenasi tim nasional pada khususnya. Kebijakan itu adalah hal masih dengan segudang keuntungan. Bisa saja jika dilakukan secara berkesinambungan akan banyak mengorbitkan pemain berkualitas seiring berjalannya waktu.

Tapi apakah kondisi liga juga sama demikian ? menurut saya masih jauh dari ekspetasi. Kembali ke euforia kepergian kedua pilar muda Timnas Indonesia ke luar negeri di masa krisis kompetisi seperti ini cukup dan bahkan lebih dari sekedar bukti bahwa Liga kita belum mampu mengayomi talenta muda maupun senior dengan kompetisi yang sehat nan kompetitif.

Berkaca pada Liga Inggris, Italia, Spanyol, dan paling dekat di kancah Asia Tenggara yaitu Malaysia yang sudah memulai kompetisi pada periode Sepetember 2020 lalu, sedangkan Liga nasional kita belum juga dilaksanakan, membuat pesimisme dan kualitas menejemen situasi sepakbola oleh Federasi terkait masih dalam ambang labil.

Menunggu Kabar Baik

Rabu, 10 Februari 2021 ini, Mentri Pemuda dan Olahraga (Menpora) sedang menggelar rapat kordinasi dengan kepolisian, PSSI, PT Liga Indonesia Baru (LIB), KONI, dan Satgas Covid-19 Nasional. Rapat yang membahas agenda  persiapan pelaksanaan dan pengelolaan kompetisi sepakbola tanah ir semoga mehasilkan titik temu pelaksanan turnamen Liga 1 dan kasta di bawahnya untuk segera terlaksana.

Saya pribadi sangat berharap besar untuk Federasi dan Pemerintah dalam hal ini harus mau satu prinsip, mau bekerjasama membangun segala aspek kehidupan untuk memajukan nama Indonesia. Sepakbola, politik, dan kesehatan sama pentingnya. Pemerintah tidak boleh berat ebelah memberikan proyeksi kesempatan untuk berkembang secara rata. Sepakbola di Indonesia tidak hanya sebuah hiburan, tapi lebih dari sekedar sajian olahraga. Bukankah begitu  ?

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak