“Manusia hanya bisa berencana, selebihnya Tuhan yang menentukan”. Kutipan tersebut kerap kali kita ucapkan untuk menenangkan seseorang yang sedang kecewa. Terkadang apa yang sudah kita persiapkan matang-matang, belum tentu akan berjalan seperti apa yang sudah direncanakan sebelumnya.
Dalam menghadapi situasi tersebut, mau tidak mau dan suka tidak suka kita harus tetap menjalani kehidupan. Meskipun cukup sulit untuk menerimanya, kamu bisa belajar menerima kenyataan melalui filsafat stoa.
Asal-usul Filsafat Stoa
Filsafat stoa atau stoisisme merupakan pemikiran seorang filsuf Yunani bernama Zeno yang hidup 300 SM silam. Ia adalah pedagang kaya raya yang mendadak jatuh miskin karena kapal yang ditumpanginya karam dan menghanyutkan seluruh barang dagangannya.
Pada saat itu, Zeno terdampar di Athena dan menghabiskan waktunya dengan belajar beragam jenis filsafat, hingga ia berhasil menemukan dan mengajarkan filsafatnya sendiri, yaitu stoisisme. Ia sering menyebarkan ajarannya pada sebuah teras berpilar yang dalam bahasa Yunani disebut dengan stoa. Oleh sebab itu, filsafatnya dinamakan dengan istilah filsafat stoa atau stoisisme.
Ajaran Stoisisme
Prinsip utama dalam stoisisme adalah dikotomi kontrol. Dikotomi kontrol mengajarkan bahwa kita harus memberikan energi dan perhatian pada hal yang dapat kita kontrol dan tak perlu khawatir terhadap hal yang tidak bisa kita kontrol. Hal-hal yang berada di bawah kontrol kita adalah pertimbangan, opini, keinginan, tujuan, dan segala sesuatu yang berasal dari pikiran dan tindakan kita. Sementara itu, hal-hal yang tidak berada di bawah kontrol kita adalah tindakan orang lain, opini orang lain, reputasi, kondisi tubuh, dan segala sesuatu yang ada di luar pikiran dan tindakan kita seperti cuaca, bencana alam, dan peristiwa alam lainnya.
Oleh sebab itu, sempitnya lingkup kontrol diri tersebut mewajibkan kita untuk menerima kenyataan bahwa banyak sekali hal di luar sana yang akan membuat kita kecewa karena hal-hal tersebut berjalan di luar kendali kita. Filsuf stoa berpendapat bahwa menggantungkan kebahagian pada hal-hal yang ada di luar kontrol kita adalah hal yang tidak rasional.
Bayangkan kamu adalah seorang pemanah yang sedang berlatih. Saat kamu akan memanah target, kamu pasti akan fokus pada setiap hal yang kamu lakukan, mulai dari mengambil anak panah, menarik busur, hingga melepaskan anak panah tersebut. Kemudian, anak panah itu akan bergerak kencang menuju target. Ketika anak panah sudah lepas dari busurnya, hal itu sudah berjalan di luar kendalimu. Bisa saja terjadi angin kencang yang akan membuat anak panahmu meleset. Hal-hal lainnya seperti kamu yang tiba-tiba kehilangan fokus di sepersekian detik terakhir juga tergolong hal yang terjadi di luar kendali.
Stoisisme menggunakan gambaran tersebut untuk menujukkan bahwa meskipun semua usaha yang telah kamu lakukan berada dalam kontrol atau kendalimu, tetapi kamu tetap tidak bisa mengatur hasilnya akan jadi seperti apa. Berkaca dari hal tersebut, yang dapat kamu lakukan adalah memanfaatkan dengan sebaik-baiknya apa yang menjadi kekuatanmu, karena beberapa hal bisa kamu tentukan dan yang lainnya tidak.
Melalui ajaran filsafat stoa, seseorang diwajibkan untuk menerima kenyataan bahwa banyak hal-hal di luar sana yang akan membuat kita kecewa. Oleh sebab itu, stoisisme selalu mengajarkan kita untuk tidak menggantungkan kebahagian pada hal-hal yang berada di luar kontrol kita. Meskipun begitu, filsafat stoa ini tidak semata-mata mengajarkan kita untuk menghindari hal-hal yang berada di luar kontrol, melainkan kita harus menghadapinya dengan menerapkan kebijaksanaan, misalnya dengan mengambil keputusan yang didasari pada penalaran dan keputusan yang tepat.
Setelah mengetahui sedikit tentang filsafat stoa, semoga kamu bisa belajar menerima kenyataan yang terjadi dengan lapang dada, ya!