Nama dan masukan dari aktivis Kalis Mardiasih dikutip oleh capres nomor urut 3 Ganjar Pranowo dalam debat kelima Pilpres 2024 pada Minggu (4/2). Ganjar dalam paparannya menyampaikan masukan yang diberikan Kalis mengenai pendidikan untuk kelompok terpinggirkan.
BACA JUGA: Seruan Selamatkan Demokrasi Semakin Meluas, 12 Daftar Sivitas Akademika Kampus Kritik Jokowi
"Kalau kemudian ini bisa berjalan dengan baik, maka perempuan muda dari Jogja, Mbak Kalis namanya menyampaikan, Mas Ganjar, perhatikan mereka yang selama ini terpinggirkan. Ada dua yang utama, kelompok perempuan dan yang kedua adalah penyandang disabilitas. Tolong betul agar sekolah makin inklusi dan mereka tidak mendapatkan perlakuan yang diskriminatif," ucap Ganjar dalam debat kelima Pilpres 2024.
Kalis Mardiasih langsung menuliskan cuitan di akun X (Twitter) pribadinya setelah nama dan masukannya dikutip oleh Ganjar. Penulis buku Muslimah yang Diperdebatkan ini tampak terharu.
"Ya Allah lagi ngetwit mau dengerin visi misi malah disebut Ya Allah Pak aku langsung ga fokus (emoji menangis)" cuitnya.
Masukan yang Kalis Mardiasih berikan untuk capres nomor urut 3 tersebut terjadi di acara Gelar Tikar Ganjar tema Pendidikan pada 28 Januari lalu. Ia membeberkan tiga poin penting masukannya mewakili isu perempuan dan anak.
Pertama, tentang manajemen kebersihan menstruasi di sekolah. Kalis mengatakan bahwa 1 dari 2 sekolah toiletnya belum dipisahkan berdasarkan gender dan 1 dari 4 sekolah belum punya toliet layak.
"Hampir 300 ribu sekolah belum punya akses ke air bersih dan sistem sanitasi hygiene. Padahal anak perempuan yang mens perlu toilet yang airnya mengalir, lampu terang, luas, pintu bisa dikunci dari dalam," ungkap Kalis dikutip dari unggahan Instagramnya.
Kedua, soal anak-anak perempuan yang dikeluarkan dari sekolah karena kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Kalis menyoroti fakta bahwa tidak ada aturan negara mengenai tindakan tersebut.
BACA JUGA: Ahok Mundur dari Komisaris Utama Pertamina, Alasannya Buat Netizen Kecewa
Sementara, kebanyakan keputusan anak perempuan dikeluarkan dari sekolah karena KTD dengan alasan sekolah malu.
"Padahal, mayoritas pelajar yang mengalami KTD adalah korban kekerasan seksual. Mereka dikucilkan di keluarga dan masyarakat, dan dengan semena-mena pendidikannya pun diputus begitu saja dan selanjutnya menjadi korban pemaksaan perkawinan usia anak," tutur Kalis.
Kalis Mardiasih menunjukkan angka KTD naik 20% meski pelajar sudah pakai seragam panjang karena akar masalah belum terselesaikan.
"Sebab akar masalahnya memang bukan di pakaian anak perempuan, melainkan pada reproduksi pengetahuan sehingga kesadaran untuk tidak melakukan perilaku seksual beresiko," paparnya.
Poin ketiga mengenai kekerasan seksual yang seiring sahnya UU TPKS terus terungkap di lembaga pendidikan.
"Guru dan tendik (tenaga pendidik) sebagai pelaku pelecehan seksual kepada pelajar SD dan TK. Saya menuntut negara memberikan Hak Pendidikan Kespro anak yang kita perjuangkan sejak tahun 60-an," ucap Kalis Mardiasih.
Cek berita dan artikel yang lain di GOOGLE NEWS