La Niña diperkirakan akan kembali muncul pada akhir 2025, tetapi para pakar iklim PBB menegaskan fenomena alam ini tidak cukup untuk menahan laju pemanasan global.
Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), ada peluang 55 persen La Niña terjadi antara September hingga November, meningkat menjadi 60 persen pada periode Oktober hingga Desember. Sementara kemungkinan berkembangnya El Niño dinilai sangat kecil.
La Niña biasanya membuat suhu bumi terasa lebih dingin karena pendinginan air laut di Pasifik khatulistiwa. Namun, WMO menekankan bahwa aktivitas manusia tetap menjadi faktor dominan dalam kenaikan suhu bumi.
Sekitar 90 persen panas berlebih akibat pemanasan global tersimpan di samudra, menjadikan laut sebagai indikator utama perubahan iklim.
![Ilustrasi pemanasan global. [Shutterstock]](https://media.suara.com/pictures/original/2019/09/29/78307-pemanasan-global.jpg)
Dampak dari perubahan iklim akibat ulah manusia kini seakin jelas: suhu global meningkat, cuaca ekstrem semakin intens, dan pola curah hujan bergeser.
WMO mengingatkan bahwa 10 tahun terakhir adalah dekade terpanas yang pernah tercatat, dengan 2024 menjadi tahun paling ekstrem. Data internasional menunjukkan suhu rata-rata global pada 2024 mencapai 1,55 °C di atas rerata pra-industri.
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyebut kondisi ini sebagai alarm serius. Ia menegaskan bahwa tahun 2024 yang panas ekstrem harus direspons dengan aksi iklim inovatif di 2025. “Masih ada kesempatan untuk mencegah bencana iklim terburuk, tapi para pemimpin dunia harus bergerak sekarang juga,” katanya.
Selain El Niño dan La Niña, faktor lain seperti Osilasi Atlantik Utara, Osilasi Arktik, dan Dipol Samudra Hindia juga memengaruhi suhu serta curah hujan global. WMO, melalui pembaruan iklim musiman global, terus memantau fenomena-fenomena ini untuk memahami arah perubahan iklim ke depan.
Penulis: Muhammad Ryan Sabiti