Kaum Minoritas dan Tabrakan Ideologi dalam Kebhinekaan Indonesia

Ayu Nabila | Oktavia Ningrum
Kaum Minoritas dan Tabrakan Ideologi dalam Kebhinekaan Indonesia
Ilustrasi keberagaman (unsplash)

Lebih dari 700 bahasa daerah ada di Indonesia. Gazette Republik Indonesia tahun 2020 juga mencatat ada 16.771 pulau di Indonesia, dan masih ada sekitar 9 ribu pulau yang tak bernama. Dari data tersebut tentulah kita memahami bahwa negara kita merupakan negara yang kaya. 

Dari satu pulau Jawa, kita dapat menemui bermacam adat, tradisi, budaya, kuliner, agama, dan warisan lokal yang beragam pula. Lalu bagaimana dengan 16 ribu lebih pulau yang lain? Bukankah tak terbayang betapa melimpah-ruahnya keberagaman di Indonesia? 

Saat itu tahun 2017, saya berusia 16 tahun dan mulai mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Atas. Menjadi seorang  siswa kelas 1 SMA di salah satu sekolah negeri yang ada di Kota Malang. Waktu itu untuk yang pertama kalinya, guru PKN saya mengatakan hal yang  membuat saya tersadar akan kehidupan sosial. 

"Jika manusia benar-benar memahami makna ideologi, maka masalah persatuan dan kesatuan tidak akan pernah ada," tuturnya kala itu. 

Saya hidup di lingkungan yang mayoritas beragama Islam, semua bisa berbahasa jawa, dan lingkungan hidup saya sangat kental akan adat istiadat yang masih dipegang teguh hingga kini. Hal itu membuat saya tak menyadari, bahwa banyak kawan yang menjadi kalangan minoritas dan seringkali tersisihkan. 

Saya kira tidak pernah ada masalah semacam pelanggaran SARA, rasis, dan bermacam tindakan kriminal lain yang merugikan persatuan di sekitar lingkungan hidup saya. Namun nyatanya, kejadian seperti itu justru banyak terjadi tanpa disadari. 

Dengan dalih bercanda, batasan antara tindakan bullying ringan hingga pelanggaran SARA kian lama memburam dan hampir tak terlihat lagi, hingga kasus itu pun meledak. 

Tepatnya pada Agustus 2019, di kota saya tinggal (Malang) aksi demo para mahasiswa Papua menjadi tamparan keras pada rendahnya kesadaran kita sebagai masyarakat terkait ideologi. Ideologi, yang mana "ide" seharusnya hanya ada di kepala, justru terluncur lewat kata-kata yang menyakiti perasaan yang lain. 

Hari itu saya menyadari tentang wajah kaum minoritas di Indonesia yang kerap kali mengalami diskriminasi tanpa disadari. Hal serupa juga dialami sepupu saya (Erika) ketika merasakan sendiri sulitnya menjadi muslim di Negara Jepang, di mana tidak ada dispensasi untuk waktu shalat di kantornya, ataupun hari libur pada Idul Fitri sekalipun. 

Di mana pun, kaum minoritas hampir selalu menjadi yang tersisih. Karena kecil, suaranya tak memiliki kuasa untuk didengarkan banyak orang. Hal yang dianggap luhur di golongan mereka, justru kerap kali menjadi bahan candaan yang membuat miris. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak