Belajar Arti Keberagaman Secara Langsung dari Klenteng Tertua di Tanah Jawa

Ayu Nabila | M. Fuad S. T.
Belajar Arti Keberagaman Secara Langsung dari Klenteng Tertua di Tanah Jawa
Klenteng Mak Co / Tjoe An Kiong Lasem (DocPribadi/armada)

Berbicara mengenai keberagaman, kota Lasem layak menjadi salah satu kota untuk dikedepankan. Pasalnya, di kota yang secara teritori masuk dalam wilayah kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah ini sedari dahulu sudah terkenal dengan keragaman etnis, penduduk, dan tentu saja budayanya.

Memiliki sejarah yang sangat panjang, yang dimulai dari era kerajaan, Lasem secara langsung menjadi saksi sejarah perjalanan bangsa ini, mulai dari masa keemasan, hingga masa suram di bawah pendudukan bangsa asing. Maka tak mengherankan jika pada akhirnya, Lasem menjadi salah satu wilayah di Nusantara yang dihuni oleh berbagai etnis, dan bercampur menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan sedari dahulu.

Meski didominasi oleh masyarakat yang beragama islam, namun kehidupan masyarakat minoritas di daerah ini begitu terjaga. Bahkan, di Lasem, kita bisa belajar secara langsung mengenai apa itu arti keberagaman, bukan hanya dalam tataran teori, namun juga dalam implementasi di kehidupan nyata melalui berbagai aktifitas ataupun bangunan yang ada di wilayahnya.

Salah satu contoh paling nyata, kita bisa belajar toleransi dan juga keberagaman melalui keberadaan Klenteng Tjoe An Kiong yang terletak di Desa Dasun, Kecamatan Lasem. Disadur dari laman Lensapena, klenteng Tjoe An Kiong ini diklaim sebagai klenteng tertua di tanah Jawa lho. hal ini diperkuat dengan dokumen yang tersimpan di Leiden Belanda, yang menyebutkan bahwa pada tahun 1411, klenteng ini sudah berdiri, jauh sebelum klenteng lainnya dibangun. Namun yang paling penting adalah, nilai-nilai atau pelajaran-pelajaran tentang pentingnya keberagaman yang bisa kita petik secara langsung dari keberadaan ini.

Mendapatkan Tambahan Nama "Mak / Emak" dari Warga Sekitar

Penulis dan Klenteng Mak Co (dok. pribadi/armada)
Penulis dan Klenteng Mak Co (DocPribadi/armada)

Ada yang unik dari klenteng ini lho. Oleh warga lokal, klenteng ini sering dipanggil dengan sebutan Klenteng Mak Co atau Mak Cu. Penyebutan klenteng dengan memakai nama “Mak” ditujukan untuk memudahkan warga lokal untuk mendefinisikan sang Dewi Laut, yang menjadi alasan utama pembangunan klenteng ini, serta menjadi Dewi utama yang dipuja di sini. Selain itu, penyebutan Mak Co tak lepas dari indikasi nyata kenyamanan masyarakat sekitar yang memandang klenteng ini layaknya “Emak” atau ibu, yang identik dengan tempat yang nyaman, tempat berbagi kasih dan juga tempat berlindung. Hal ini tentu saja bukannya tanpa alasan, karena selama berabad-abad, Klenteng ini telah menjadi bagian dari masyarakat setempat, dan kerap pula mengadakan berbagai kegiatan sosial yang menyasar warga-warga secara luas, tanpa membedakan etnis, status sosial atau agama yang mereka anut.

Aku masih ingat, sebelum pandemi covid-19 melanda, Klenteng Tjoe An Kiong alias Mak Co ini selalu mengadakan berbagai perayaan untuk memperingati ulang tahunnya, atau hari-hari besar keagamaan. Dan di momen inilah, keragaman hakiki nan penuh damai terlihat. Ketika saudara-saudara dari etnis Tionghoa melakukan perayaan, maka warga dari berbagai tempat pun berdatangan memeriahkan acara ini. Mereka tak segan berbaur dengan para pelaku perayaan, dan seringkali pula membantu lancarnya acara tersebut. Bahkan, masyarakat sekitar yang dari luar etnis, berinisiatif untuk menjadi pengamanan demi lancarnya acara yang diselenggarakan oleh saudara-saudara Tionghoa di Klenteng Mak Co.

Yang unik adalah, meskipun menganut ajaran Tri Dharma atau Kong Hu Chu, namun ketika perayaan ulang tahun Klenteng yang biasanya dirayakan sekitar bulan Mei hingga Juli tersebut, etnis Tionghoa di Lasem juga mengadakan semacam “sedekahan” kepada masyarakat luas, tanpa mengkotak-kotakkannya. Sebuah sikap yang benar-benar membuat kita salut.

Terdapat Bedug Sebagai Simbol Toleransi Beragama

Bedug di Klenteng Tjoe An Kiong / Mak Co (dok. lensapena)
Bedug di Klenteng Tjoe An Kiong / Mak Co (dok. lensapena)

Oh iya, aku beberapa kali datang ke tempat ini ketika perayaan berlangsung lho. Selain karena acaranya terbuka untuk umum, saat perayaan tersebut, warga yang datang juga diberikan semacam privilege untuk melihat-lihat dari dekat isi klenteng ini. Maklum saja, sehari-harinya, klenteng ini hanya dipergunakan untuk peribadatan dan tidak terbuka untuk umum, sehingga jika ingin masuk ke area yang lebih dalam, harus melakukan pemberitahuan terlebih dahulu ke pihak pengelola. Jadi, ketika perayaan berlangsung, kita bisa melihat lebih dekat tentang klenteng ini.

Yang masih aku ingat sampai sekarang adalah, Klenteng ini benar-benar mencerminkan rasa solidaritas dan toleransi yang tinggi terhadap keberagaman. Seperti contoh, di dalam klenteng, kita akan menemukan bedug seperti yang kita kenal di masjid-masjid milik umat islam. Tahun 2019, dalam perayaan, sang pemandu menjelaskan bahwa keberadaan bedug di klenteng ini merupakan bukti nyata bahwa klenteng ini begitu menghargai keberagaman yang ada di masyarakat. Memang, selain berada di tempat yang mayoritas beragama islam, letak klenteng Mak Co ini juga tak begitu jauh dari Masjid Jami’ Lasem, hanya sekitar 800-meter saja. dan selama berabad-abad, kedua symbol beda agama ini selalu berdampingan dengan harmonis, tanpa ada sedikitpun friksi yang terjadi.

Monumen Toleransi Keberagaman Sejak Zaman Perjuangan

Monumeb Perjuangan Laskar Tionghoa dan Jawa, bukti sahih persatuan dalam perbedaan di Lasem (dok. pribadi/armada)
Monumeb Perjuangan Laskar Tionghoa dan Jawa, bukti sahih persatuan dalam perbedaan di Lasem (dok. pribadi/armada)

Selain terdapat bedug, bukti sahih tingginya klenteng Mak Co dalam menjunjung keberagaman dituangkan dalam prasasti atau monument perjuangan perlawanan rakyat Jawa dan Tionghoa terhadap Belanda. Pada monumen yang terletak di halaman kiri depan Klenteng tersebut, dengan gamblang disebutkan tokoh-tokoh lintas etnis dan agama yang saling membahu dalam melawan penjajah. Pada penjelasan “Monumen Perjuangan Laskar Tionghoa dan Jawa” tersebut, terdapat patung-patung tokoh besar dalam sejarah bangsa ini seperti Raden Mas Said alias Mangkunegoro dari Surakarta, Kapten Sepanjang atau Souw Pan Tjang dari Batavia, Raden Tumenggung Widyaningrat atau Oey Ing Kiat Bupati Lasem, Raden Panji Margono dan Tan Kee Wie dari Lasem serta Bupati Martopuro dari Grobogan. Tak heran ya, jika masyarakat Lasem sedari dulu selalu menjunjung tinggi perbedaan dan keberagaman. Para pemimpinnya saja sudah memberikan contoh yang nyata mengenai hal ini.

Eh, hampir saja terlupa. Dalam perayaan-perayaan yang diselenggarakan oleh pihak klenteng, mereka seringkali menyelenggarakan pentas budaya yang tak hanya menonjolkan budaya tionghoa saja lho. Dalam rangkaian acara yang mereka gelar, seringkali diadakan acara pagelaran wayang kulit, yang bisa disaksikan oleh masyarakat luas.

Pada Kamis (9/6/2022), dalam perjalanan pulang dari Kota Rembang, aku sengaja mampir ke Klenteng Mak Co, untuk kembali mengingat betapa hebatnya Klenteng tertua di Tanah Jawa ini dalam mempersatukan masyarakat Lasem dan sekitarnya yang begitu beragam. Semoga, tahun ini Klenteng Mak Co sudah kembali bisa melakukan perayaan kembali, pasca badai Covid-19 yang menepi dan menjelang usai.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak