Entitas Bahasa Sastra di Negara Republik Indonesia

Hernawan | Luthfia Mariatul Fitriani
Entitas Bahasa Sastra di Negara Republik Indonesia
Ilustrasi menulis. (Pixabay/StockSnap)

Era revolusi industri sekarang ini merupakan awal bangsa Indonesia mengalami kegagapan. Padahal sebelumnya pada tahun 1970-an sudah ada istilah modernisasi. Modernisasi waktu dulu kurang lebih suasananya sama seperti era revolusi sekarang. Di mana mengharuskan masyarakat untuk beradaptasi dengan canggihnya teknologi. Celaka bila ada masyarakat yang belum siap menghadapi era revolusi ini. Era revolusi sekarang ini merupakan celah produk manufaktur sosial bagi negara-negara maju. 

Dalam menghadapi era revolusi industri, muncul berbagai masyarakat menanggapinya. Ada yang hanyut atau mengikuti betul perkembangannya, lalu menggunakan identitas serta ada yang tetap bertahan seperti era sebelum revolusi. Hal ini sebenarnya berkaitan dengan bahasa sastra Indonesia yang mengakibatkan perubahan besar. Perubahan yang mengarah ke hal negatif dan positif. Dampak negatif yang bisa dirasakan adalah menipisnya nilai kesantunan dalam berkomunikasi. Artinya era revolusi ini banyak masyarakat yang memaknai dengan makna yang beragam. Ada yang menganggap sebagai kebebasan mutlak, sehingga semua orang boleh berbuat apapun.

Ketika berkomunikasi sudah terlihat bahwa nilai-nilai kesantunan dalam komunikasi kalaulah belum hilang, setidaknya sudah berubah. Selain itu ada hal lain yang ikut mempengaruhi, misalnya phobia berbahasa Indonesia. Ada sebagian masyarakat Indonesia merasa tidak nyaman dan tidak bergengsi ketika menggunakan bahasa Indonesia. Sehingga banyak yang gemar menyisipkan istilah-istilah asing, yang bisa jadi secara konsep mereka tidak  menguasainya secara baik dan benar. 

Masyarakat beranggapan, jika sudah bisa menyisipkan bahasa asing dalam berkomunikasi tidak lagi dianggap ndeso atau norak dan mereka merasa modern. Selain itu, masyarakat juga akan merasakan bahwa dirinya ikut merayakan revolusi industri ini. Semakin maraknya hal demikian, maka identitas masyarakat NKRI akan bahasa sastra Indonesia semakin terkikis. Hal yang disayangkan lagi jika masyarakat Indonesia enggan berbahasa Indonesia dan merasa risih menggunakan bahasa daerah. Padahal ini merupakan identitas bangsa Indonesia, artinya sama-sama dilakukan guna mengusung era revolusi industri. Hal ini juga sejalan dengan beberapa negara maju, mereka ingin memperjuangkan bahasa mereka di kancah internasional. 

Untungnya masih ada sebagian masyarakat Indonesia yang sadar. Kesadaran ini berupa kesadaran untuk kembali ke persoalan lokalitas. Banyak masyarakat beranggapan bahwa kearifan lokal yang ada di seluruh suku bangsa diyakini akan menjadi penggerak di era revolusi industri. Bangsa Indonesia memiliki banyak karya sastra; pantun, syair, prosa, dan lain sebagainya. Konon karya sastra yang diberitakan sudah lapuk, perlu diusung kembali untuk ikut memanfaatkan era revolusi ini. Maka dari itu, entitas dari keberadaan sastra di Indonesia harus diperkuat dan diperkental lagi. Hal ini semata-mata agar sastra di Indonesia ikut andil memberikan citra ungkapan yang berbeda dan menebar manfaat. 

Jika dilihat dari konteksnya, sastra diperlakukan hanya sebagai ilmu pengetahuan, akibatnya sastra hanyalah menjadi hafalan semata. Hal demikian yang sering terjadi di bangku formal, sekolah. Padahal seharusnya sastra dijadikan sebagai olah pikir dalam pendidikan kognitif yang bisa menggerakkan psikomotorik. Psikomotorik ini artinya, dalam berperilaku sehari-hari keberadaan ilmu sastra dapat dirasakan dan diimplementasikan. 

Selanjutnya, yang sering terlupa dari hakikat sastra adalah seni dari sastra sendiri. Sesungguhnya yang menjadi kunci dalam sastra adalah bahasa. Hal ini juga berlaku dalam rumus seni-seni lainnya. Misalnya seni rupa, bahan dasar atau kuncinya yaitu paku/batu. Jika ditarik kesimpulan, dalam seni apapun, khususnya seni sastra yang terpenting adalah kreativitas. 

Kreativitas akan menyuguhkan suguhan yang unik dan berbeda. Adanya kreativitas bahasa sastra, tentu tidak selalu sama dengan bahasa sehari-hari. Masyarakat berupaya mencari ungkapan lain yang tidak sama, inilah sebetulnya makna dari bahasa sastra. Bisa dilihat dari beberapa karya zaman dahulu dan sekarang. Meskipun berbicara hal yang sama, pasti ungkapan yang digunakan berbeda. Misalnya saja, “Pagi ini sangat dingin” ini merupakan ungkapan umum orang awam, jika sastrawan akan mengungkapkan dengan ungkapan berbeda. “Pagi ini orang-orang mendekapkan tangannya, berusaha membungkus bagian tubuh yang dapat dijangkaunya, badan yang menahan gigilan sesekali berguncang-guncang,” ini merupakan ungkapan dari sastrawan. 

Dilihat dari contoh di atas, substansi penyampaiannya sama, yang membedakan hanyalah cara pengungkapannya. Dengan menggunakan bahasa sastra, justru memperlihatkan fakta yang sesungguhnya, mengajak pembaca terjun langsung seolah-olah melihat secara nyata. Sastra juga bukan bahasa aneh, karena sesungguhnya sastrawan menulis ingin berkomunikasi dengan pembaca. Dalam praktiknya, membaca sastra ada 3 hal mutlak yang mestinya dilakukan yaitu memahami, menikmati dan menghayati. 

Pada tahap memahami karya sastra, penguasaan atas teks bahasa merupakan modal utama untuk memasuki lebih jauh dunia dalam kata-kata. Karena sastra bahan dasarnya adalah bahasa, tanpa penguasaan bahasa tidak mungkin bisa mengapresiasi karya sastra. Pemahaman kosakata puisi, struktur prosa dan lain sebagainya hanya dapat dilakukan melalui bahasa. Selanjutnya adalah tahap menghayati, pada tahap inilah orang akan memutuskan karya sastra memiliki manfaat atau tidak. Tahap yang terakhir, menikmati karya sastra. Menikmati sastra, berarti olah pikir dan rasa dapat mengapresiasi karya sastra dengan baik. 

Video yang mungkin Anda suka:

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak