Di akhir pekan yang lengang, kita terbiasa mampir ke supermarket. Ruang berpendingin, lampu terang, rak tertata rapi. Kita pilih sayur dalam plastik wrap, buah dari Australia, daging impor yang dibekukan. Praktis? Jelas. Tapi pernahkah kita berpikir dari mana semua itu datang, dan berapa banyak energi yang dihabiskan untuk membuatnya sampai ke piring kita?
Tanpa disadari, kebiasaan konsumsi kita hari ini ikut menyumbang krisis iklim global. Makanan yang kita konsumsi setiap hari menyimpan jejak karbon dari hulu ke hilir, mulai dari cara tanam, pupuk yang dipakai, sampai jarak tempuh pengiriman. Salah satu penyumbang emisi besar? Produk makanan impor.
Menurut studi yang dilakukan di Korea Selatan, konsumsi pangan lokal secara konsisten bisa menurunkan lebih dari 2,4 juta ton emisi karbon dioksida per tahun. Angka ini setara dengan 2,5% dari seluruh emisi sektor transportasi nasional mereka. Di kawasan Arktik Kanada, produk lokal bahkan menghasilkan emisi setengah lebih rendah dibanding makanan yang diimpor dari luar.
Coba kita lihat di sekitar. Indonesia dikenal sebagai negeri agraris, kaya hasil bumi dan laut. Tapi kenapa kita lebih sering menemukan apel dari Selandia Baru ketimbang salak Pondoh? Atau wortel impor dibanding bayam dari lereng Merapi? Masalahnya bukan pada ketersediaan, tapi pada persepsi bahwa produk luar lebih “bersih”, lebih “modern”, dan lebih keren.
Padahal, pasar tradisional kita menyimpan kekuatan besar. Di situlah hasil panen petani lokal dipasarkan langsung, tanpa perantara, tanpa rantai distribusi panjang. Sayur mayur masih segar dari ladang, ikan hasil tangkapan nelayan semalam, bahkan beberapa dijual tanpa kemasan plastik. Lebih ramah iklim, lebih segar, dan lebih mendukung ekonomi lokal.
Studi dari Katadata mendukung ini. Komoditas lokal seperti sayur dan kacang-kacangan hanya menghasilkan sekitar 2–2,3 kg COe per kilogram, jauh di bawah daging sapi yang mencapai 39 kg COe/kg. Artinya, dengan mengganti satu atau dua bahan makanan impor menjadi produk lokal, kita telah mengurangi jejak karbon di meja makan kita sendiri.
Tidak hanya itu. Pasar tradisional juga menggerakkan ekonomi komunitas. Studi di Iowa, Amerika Serikat, mencatat bahwa 152 pasar petani lokal mampu menciptakan lebih dari 576 lapangan kerja dan memutar ekonomi lokal sebesar 59 juta dolar. Bayangkan jika kebiasaan ini ditumbuhkan di kota-kota besar di Indonesia.
Beberapa komunitas bahkan telah lebih dulu bergerak. Di Yogyakarta, gerakan “Pasar Pangan Lokal” menggandeng petani organik untuk memasok langsung ke konsumen urban. Di Jakarta dan Bandung, startup seperti Sayurbox dan TaniHub menjembatani petani kecil dengan rumah tangga yang ingin bahan segar tanpa rantai pasok panjang.
Sayangnya, kita masih terjebak pada narasi kepraktisan modern. Kita ingin semua instan. Tinggal klik, antar ke rumah, dan tak peduli asal muasalnya. Tapi seperti yang ditulis dalam jurnal Nature Food (2022), jejak emisi dari transportasi makanan global lebih besar 3,5–7,5 kali lipat dari perkiraan sebelumnya. Artinya, pilihan kita hari ini memang punya dampak nyata.
Mengubah pola konsumsi bukan soal idealisme, tapi soal tanggung jawab. Jika kita bisa membawa tumbler sendiri demi mengurangi plastik, kenapa tidak membawa tas kain dan belanja di pasar pagi? Jika kita bisa memilih skincare yang organik dan ramah lingkungan, kenapa tidak juga memilih bahan makanannya?
Tidak perlu langsung drastis. Mulai dari hal kecil, ganti buah impor dengan buah musiman lokal. Belanja mingguan ke pasar tradisional, bukan ke minimarket.
Tanya asal-usul bahan panganmu. Karena ketika kita tahu siapa yang menanam, siapa yang menangkap ikan, siapa yang memetik bayam, maka kita sedang membangun hubungan baru bukan hanya dengan petani, tapi juga dengan bumi.
Di tengah krisis iklim, setiap suap makanan adalah pilihan. Apakah ia menyehatkan bumi atau malah menambah beban? Jawabannya ada di piring kita sendiri.