Festival Bodri 2025 yang dihelat di Hutan Edukasi, Desa Sidodadi, Kecamatan Patean, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, pada 13 dan 14 September 2025, salah satunya diisi dengan focus group discussion (FGD). FGD dimaksudkan untuk mengidentifikasi masalah serta merumuskan solusi demi kelestarian ekosistem di daerah aliran sungai Bodri atau DAS Bodri.
Mengusung tema "Pengelolaan DAS Bodri Sebagai Upaya Membangun Peradaban", beragam pihak turut andil dalam diskusi tersebut. Peserta yang hadir, memiliki kesamaan visi yakni mencari solusi konkret yang bisa diterapkan untuk kelestarian lingkungan di DAS Bodri. Sulistyo selaku perwakilan dari panitia pelaksana dan Lembaga Fordas Bodri, menjadi moderator dalam sesi ini.
FGD terbagi dalam lima kelompok. Masing-masing fokus pada satu isu utama. Pembahasan dimulai dengan isu alih fungsi lahan yang disampaikan Muhammad Yusuf Muda dari Cabang Dinas Kehutanan Wilayah IV Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jawa Tengah.
Yusuf menjelaskan bagaimana lahan pertanian produktif seringkali menjadi area perumahan. Bukan hanya menghilangkan area resapan air, kondisi ini juga memicu konflik. Solusinya, menurut Yusuf, perlu regulasi yang lebih kuat dan pengawasan ketat.

Isu kedua, degradasi lahan dan ketahanan pangan, diulas oleh Dewi Larasati dari Universitas Semarang (USM). Ia menyoroti dampak negatif dari penggunaan pupuk kimia dan pestisida berlebihan yang membuat tanah mengeras. Ia menekankan pentingnya kembali ke metode pertanian organik yang dapat memperbaiki kesuburan tanah.
Berikutnya, Suparno dari Forum DAS Jateng membahas masalah bencana rutin, seperti banjir dan tanah longsor. Kondisi DAS yang kritis dengan minimnya tutupan lahan menjadi penyebab utama bencana ini. Ia mengusulkan tindakan preventif, seperti konsep Zero Delta G, untuk memastikan air hujan dapat meresap ke dalam tanah secara maksimal.
Diskusi berlanjut dengan menyoroti pentingnya perubahan perilaku dan ekonomi hijau sebagai dua pilar utama dalam mencapai keberhasilan inisiatif lingkungan. Hery Budiarto, Asisten Program Global Environment Facility Small Grants Programme (GEF SGP Indonesia), menyampaikan pandangan yang sangat relevan dan mendalam mengenai hal ini.
Menurutnya, inisiatif lingkungan tidak akan mencapai potensi maksimalnya jika tidak diintegrasikan secara menyeluruh dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pendekatan ini menekankan bahwa keberlanjutan lingkungan harus berjalan seiring dengan keberlanjutan ekonomi dan sosial bagi komunitas yang terlibat.
Hery Budiarto memberikan contoh konkret kelompok tani dampingan mitra GEF SGP Indonesia di Temanggung dan Wonosobo. Di sana, kelompok petani kopi yang menerima dana hibah dari GEF SGP Indonesia berhasil menunjukkan perubahan perilaku yang signifikan dan positif. Perubahan ini bukan hanya terjadi pada aspek praktik pertanian yang lebih berkelanjutan, tetapi juga pada pola pikir dan motivasi mereka untuk memajukan potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dalam upaya konservasi.
“Keberhasilan ini tidak lepas dari kenyataan bahwa kegiatan konservasi yang mereka lakukan juga memberikan manfaat ekonomi yang nyata dan langsung terasa,” jelasnya.
Ia menjelaskan, para petani tidak hanya diajak untuk menjaga lingkungan, tetapi juga melihat bagaimana konservasi tersebut dapat meningkatkan pendapatan dan kualitas hidup mereka.
"Konservasi akan dapat terlaksana dengan baik, apabila perutnya juga dapat terisi," ujar Hery Budiarto.
Ia menegaskan bahwa kebutuhan dasar manusia, terutama kebutuhan ekonomi, adalah faktor krusial dalam keberhasilan setiap inisiatif lingkungan. Ketika masyarakat merasa bahwa upaya konservasi tidak mengorbankan atau bahkan dapat meningkatkan mata pencarian mereka, motivasi untuk berpartisipasi dan mempertahankan praktik berkelanjutan akan jauh lebih tinggi.
Terakhir, isu manajemen sampah keluarga dibahas secara mendalam. Perwakilan DLHK Kendal, Wasito menyoroti buruknya pengelolaan sampah di wilayah DAS Bodri dan perilaku masyarakat yang masih membuang sampah sembarangan. Solusi yang diusulkan adalah mendorong pengelolaan sampah dari sumbernya, yaitu rumah tangga, melalui pemilahan sampah dan program bank sampah.
Hasil diskusi dari kelima kelompok ini disimpulkan dalam sebuah dokumen berisi peta masalah, dampak, dan solusi. Puncaknya, FGD ini berhasil melahirkan Deklarasi Hijau Bodri 2025, sebuah komitmen yang berisi 10 poin aksi nyata.
Sepuluh poin tersebut di antaranya penyusunan peraturan desa (Perdes) tentang pengelolaan sampah yang mewajibkan warga memilah sampah di rumah, pengurangangan penggunaan pupuk kimia dan beralih ke praktik pertanian berkelanjutan, konservasi air dengan metode biopori dan sumur resapan yang dapat dirundingkan bersama pemerintah desa, memperjuangkan perlindungan area konservasi agar tidak dialihfungsikan menjadi lahan pertanian atau perumahan, serta peningkatan edukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan, termasuk dengan menanam tanaman konservasi di lahan miring.
Ali Mashar, Sekretaris Desa Sidodadi mewakili panitia, mengungkapkan bahwa deklarasi ini akan menjadi panduan bagi seluruh pemangku kepentingan untuk melaksanakan program konservasi secara terpadu.
Dokumen ini rencananya akan dikirimkan kepada seluruh instansi terkait di empat kabupaten yang dilalui DAS Bodri yaitu Kab. Wonosobo, Kab. Kendal, Kab. Semarang, dan Kab. Temanggung.
Selain itu, FGD juga menjadi fondasi bagi pembentukan Komunitas Hijau Bodri, sebuah wadah bagi para relawan dan masyarakat untuk melanjutkan kolaborasi pasca-acara. Hal ini sejalan dengan semangat kolaborasi yang ditekankan Ali Mashar.
"Masa depan DAS Bodri nanti ada di tangan Saya, Bapak, dan Ibu sekalian. Alam tidak Sekali lagi, Bapak itu adalah masa berlanjutan, bukan alam yang luar biasa kita telah terokai, tapi kita bisa berkolaborasi untuk berkomunikasi menyelesaikannya," pungkasnya.