“Kapan aku bisa mengerjakannya?”
“Besok pagi, pukul sepuluh. Pastikan orang itu benar-benar lenyap dari muka bumi.”
“Mudah saja. Delapan tahun pengalamanku. Jangan anggap remeh”.
“Tak ada yang meremehkanmu. Tapi kau perlu tahu, orang itu licin bukan main. Jaringannya luas. Antek-anteknya banyak, tersebar di seluruh penjuru kota. Tidak menutup kemungkinan pembicaraan kita sekarang ini ada yang mendengar.”
“Diamlah! Aku tak perlu nasihat. Intinya kau meragukan kemampuanku”.
“Kalau aku meragukanmu, untuk apa aku buang-buang ratusan juta membayarmu.”
**
Besok paginya, pembunuh bayaran itu sudah siap di posisi, bahkan tiga jam sebelumnya dia sudah sampai di lokasi. Pekerjaannya kali ini tidak sulit. Hanya menyarangkan peluru ke dalam batok kepala pengusaha bajingan itu.
Pagi ini di halaman apartemennya yang luas, pengusaha kaya itu akan mengadakan kampanye. Enam bulan lagi pemilihan kepala daerah. Ia sangat berambisi menduduki kursi Walikota. Pria yang ambisius.
Orang-orang mulai ramai berdatangan. Tak sabar mendengar orasinya. Masyarakat sekitar mengenal pengusaha ini sebagai orang yang baik hati dan dermawan. Setiap ada acara di lingkungan sekitar, pria ini pasti ikut berpartisipasi.
Jika ada kegiatan gotong royong, dia turun ke lapangan. Ada pembangunan rumah ibadah, dia yang paling banyak menyumbang. Reputasi baiknya sudah dikenal luas.
Namun, tak banyak yang tahu sifat busuknya. Semua yang dilakukan pengusaha itu tentu saja untuk menarik simpati masyarakat. Jabatan eksekutif sudah lama jadi impiannya.
Tak banyak pula yang tahu sudah berapa pejabat yang ia suap. Setiap kejahatan yang terjadi di kota ini, entah itu pencucian uang atau penyelundupan narkoba, pria baik hati ini selalu ada di baliknya.
Satu di antara sedikit orang yang tahu sifat asli pengusaha itu ialah orang yang kemarin mengirim pembunuh bayaran ke lokasi ini. Orang itu adalah kawan lama si pengusaha. Ambisi mereka sama.
Adapun pembunuh bayaran ini, adalah pria yang telah lama malang melintang di dunia kriminal. Senjata, darah segar, kematian, adalah hal yang hampir setiap saat ditemuinya. Dia bekerja untuk siapa saja yang mau membayarnya dengan harga tinggi.
**
Tepat pukul sepuluh. Kerumunan massa sudah sangat padat. Namun, si pengusaha itu belum tampak batang hidungnya. Si pembunuh bayaran tak sabar menunggu di gedung seberang jalan, di balkon salah satu kamar hotel.
Pukul sepuluh lewat sepuluh menit, belum juga dia kelihatan. Setengah jam berlalu, entah kenapa orang-orang masih sabar menunggu calon Walikota itu. Pukul sebelas, si pembunuh bayaran kian tak tahan.
Naluri membunuhnya membara. Ingin sekali ditembaknya saja secara membabi buta kerumunan itu. Brengsek! Dia memaki dalam hati. Jangan bilang orang itu salah kasih informasi.
Pukul satu siang. Satu-satu kerumunan mengundurkan diri. Matahari menyengat sejak tadi. Si pembunuh bayaran tak berpindah dari tempatnya. Satu jam lagi. "Aku tunggu satu jam lagi. Kalau tidak, orang itu sendiri yang akan kubunuh!" Semakin lama lapangan semakin sepi. Beberapa menit sebelum pukul dua, yang tersisanya hanya segelintir orang, bisa dihitung jari. Geram bukan main pembunuh bayaran itu.
Akhirnya tepat pukul dua. Ia lantas membungkus sniper-nya.
“Siapa yang kau tunggu, ha?”
Terperanjat pembunuh bayaran itu melihat seseorang sudah berdiri di kamar hotelnya.
“Siapa yang kau tunggu?”
Tak bisa ia berkata-kata. Memang benar kata orang itu, pengusaha yang satu ini cerdas bukan main. Mengapa tiba-tiba sudah ada di belakangnya.
“Se.. Sejak kapan?” Terbata-bata pembunuhan bayaran itu bersuara.
“Sejak matamu fokus ke lapangan. Aku di sini menunggumu berbalik. Berapa dia membayarmu?”
Tak ada jawaban. Suaranya tertahan.
“Aku bisa bayar lebih tinggi. Dua kali, tiga kali, atau sepuluh kali lipat. Sekarang kau bekerja untukku. Bunuh orang itu, aku jamin kau dapatkan apa yang kau mau."
Penawaran yang bagus. Tapi si pembunuh bayaran tidak sedang berpikir tentang uang atau apapun. Ia hanya berpikir tentang kemampuannya. Bertahun-tahun pekerjaan ini ia jalani, tak pernah sekalipun ada yang mampu menandinginya. Namun hari ini, seseorang telah menginjak-injak harga dirinya sebagai pembunuh kelas atas.
Dia tak tahu orang ini siapa. Dia belum pernah bertemu dengannya. Karirnya sebagai pembunuh bayaran bisa hancur jika orang seperti ini dibiarkan berkeliaran. Siapa pun orang ini, ia harus mati sekarang juga.
Pembunuh bayaran mengeluarkan kembali sniper-nya.
“Oi, oi, apa yang akan kau lakukan?”
“Memecahkan kepalamu”. Keterkejutannya sudah hilang. Seluruh kekuatan jahat terkumpul. Sebentar lagi pengusaha sekaligus calon Walikota bajingan ini akan mati.
“Tunggu, tunggu. Tenangkan dirimu. Aku punya penawaran. Kau bisa dapat sepuluh kali lipat dari yang dibayarnya.”
Pembunuh bayaran sama sekali tak mendengarkan tawaran itu. Ia muak dipermainkan.
Se per sekian detik kemudian meletuslah sebuah tembakan. Sebatang tubuh terjatuh ke lantai.
**
“Aku tak mengerti mengapa ada orang yang mau menyia-nyiakan hidupnya”. Pengusaha itu membersihkan sedikit bekas darah yang mengenai bajunya. Ia masih berdiri di kamar hotel itu.
Menatap tubuh pembunuh bayaran yang sekarang telungkup tak bernyawa. Darah segar tergenang. Sebentar lagi memenuhi seisi ruangan. Ia harus cepat-cepat pergi. Pengusaha itu menatap ke luar. Mengacungkan jempolnya pada seseorang yang berdiri di seberang jalan sana, di apartemen miliknya. Orang di seberang jalan itu kemudian tersenyum, menyarungkan sniper-nya, lalu melangkah pergi.
Pekanbaru, 2020