Penikmat Senja

Munirah | Taufan Rizka Purnawan
Penikmat Senja
Ilustrasi Tepi Danau. (pixabay.com)

Penikmat senja dengan tawa lepasnya yang kian terucap dari mulutnya sangat lebar. Sepanjang hidupnya sang pujangga sangat melepaskan segala cengkeraman beban derita yang sangat mengubur masa tuanya. Menikmati suasana senja di tepi danau dengan airnya yang sangat beriak tenang. Sembari memancing sang pujangga tampak menikmati suasana senja dalam kesenyuman yang berarti. Kesenyuman yang bersinar pada wajahnya.

Pujangga yang telah memahat seluruh pena kejayaannya dalam tumpukan buku-buku sastranya yang fantastis sempurna. Karyanya yang melejitkan nama besarnya. Kian masa mudanya selalu bersolek dengan idealisme yang menjiwai segala isi kepalanya. Idealisme memberi selenting suara keresahan yang sangat membakar segenap batinnya. Pujangga yang terus hidup dalam suasana kesahajaan.

Suasana kesahajaan bagai sebuah sahabat yang sangat karib dengannya. Saat melantunkan bait-baitnya, sang pujangga meledakkan seluruh tawanya. Sebagai isyarat sebuah kritik pedas akan kehidupan saat ini yang semakin berantakan tak teratur. Hidup yang semakin ruwet bagai benang kusut yang tak bisa terurai.

Kala hidup senja yang tak muda lagi yang kini menikmati tempat tinggal di tepi danau pada sebuah rumah sederhana tempat dia bernaung. Dengan bergelas-gelas kopi terkadang dia melantunkan sejuta bait-bait yang terlontar kerasnya tawa lepasnya. Tawa lepasnya yang mengundang jutaan rasa penasaran. Seketika rasa penasaran terjawab sudah dengan isyarat tawa lepasnya tersebut adalah simbol sebuah satire.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak