Mengenang Perang Gerilya, Usaha Mempertahankan Kemerdekaan NKRI

Tri Apriyani | Ary Yulianto
Mengenang Perang Gerilya, Usaha Mempertahankan Kemerdekaan NKRI
ilustrasi perang gerilya (kabarmiliter.id)

Bangsa Indonesia menjalani perjuangan yang sangat panjang dalam melawan penjajah. Mulai dari penjajahan Portugis, Belanda, dan Jepang. Tidaklah mudah bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya dari tangan penjajah. Hingga pada akhirnya, bangsa Indonesia dapat mendeklarasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Namun, apakah setelah deklarasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia sudah benar-benar merdeka dari penjajah? Jawabannya adalah tidak. Belanda tidak rela melepaskan Indonesia sebagai negara jajahannya. Dalam usahanya merebut Indonesia kembali menjadi negara jajahannya, Belanda melakukan agresi militer terhadap Indonesia.

Tindakan Belanda ini direspon oleh bangsa Indonesia, salah satunya dengan melakukan perlawan yang sangat terkenal, yaitu perlawanan dengan perang gerilya. Apa sih perang gerilya? Dan bagaimana sejarah perang gerilya pada masa mempertahan kemerdekaan? Yuk, kita simak ulasan berikut.

1. Definisi perang gerilya

Gerilya merupakan bahasa serapan dari bahasa Spanyol, yaitu guerrilla, yang secara harfiah berarti perang kecil. Intinya perang gerilya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, cepat, sabotase, dan dalam jumlah kecil, namun efektif dan efisien. Gerilya adalah strategi perang yang dipopulerkan oleh pejuang revolusioner Kuba, yaitu Marxist Che Guevara. Berdasarkan pengalaman pribadinya, Guevara membuat buku yang berjudul ‘Guerrilla Warfare’. Strategi perang ini memiliki dua syarat, yaitu semua jalan damai dan hukum sudah tidak ada dan mendapatkan dukungan dari rakyat.

2. Latar belakang

Jenderal Simon Spoor, selaku Kepala Staf Angkatan Darat Belanda di Indonesia merancang dan melancarkan Agresi Militer II dengan sandi Operation Kraai pada 14 Desember 1948. Tujuan dari Agresi Militer Belanda II adalah untuk meredam aksi perlawanan bangsa Indonesia yang mempertahankan kemerdekaan. Agresi Militer Belanda II dilancarkan di pulau Sumatera dan Jawa. Yogyakarta juga menjadi sasaran utama penyerangan itu karena statusnya sebagai ibu kota negara Indonesia.

Serangan yang dilancarkan di Yogyakarta berpusat di pangkalan udara Maguwo. Kekuatan militer udara Belanda saat itu sangat besar dan tidak sebanding dengan kekuatan militer yang dimiliki Indonesia saat itu. Serbuan Belanda di pangkalan udara Maguwo berlangsung selama 25 menit saja dan berhasil melumpuhkan pangkalan udara Maguwo. Setelah berhasil melumpuhkan pangkalan udara Maguwo, Belanda menerjunkan pasukannya lalu menguasai pangkalan udara Maguwo dan Yogyakarta secara keseluruhan. Selanjutnya Belanda melakukan serangan darat menuju kota Yogyakarta. Hal ini diketahui oleh Jenderal Soedirman yang segera mengeluarkan perintah kepada Badan Keamanan Rakyat (BKR) untuk melancarkan perang gerilya.

3. Jalannya perang gerilya

Jenderal Soedirman saat itu sedang mengalami sakit parah, yaitu TBC. Namun, tetap bersikeras untuk meninggalkan Yogyakarta dalam rangka melancarkan perang gerilya. Pada dasarnya perang gerilya yang dilakukan Jenderal Soedirman adalah bersifat defensif, yaitu bertahan dari serangan musuh.

Sasaran utama penyerangan gerilya ini adalah untuk memutus jalur komunikasi yang digunakan oleh pihak musuh, yaitu memutuskan kawat sambungan telepon, merusak jalur kereta api, dan penyerangan mendadak kepada konvoi pasukan Belanda. Tujuan dari serangan ini adalah untuk memecah konsentrasi  kekuatan militer Belanda yang pada akhirnya menempatkan pasukannya pada pos-pos kecil. Kondisi ini sangat menguntungkan bagi para pejuang gerilya yang sudah lebih menguasai medan perang.

Penyerangan secara gerilya makin terorganisir dan membuahkan hasil. Yang awalnya bertujuan defensif, namun serangan gerilya berubah menjadi serangan ofensif, yaitu mulai melakukan penyerangan ke kota-kota besar yang dikuasai oleh Belanda. Serangan yang paling terkenal dan menjadi puncak serangan gerilya adalah Serangan Umum 1 Maret, yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto. Serangan ini mampu merebut kembali Yogyakarta dari tangan Belanda hanya dalam waktu enam jam saja.

4. Akhir perang gerilya

Peristiwa peperangan antara pejuang Indonesia dalam dengan pihak Belanda dalam peristiwa Agresi Militer II ini secara meluas diketahui dunia. Tidak terkecuali pihak Dewan Keamanan PBB yang bermarkas di Paris, Perancis. Menanggapi hal ini pihak Dewan Keamanan PBB mengadakan sidang yang dilaksanakan pada 24 Januari 1949. Dari hasil sidang tersebut didapatkan hasil sebagai berikut:

Hentikan segera pertikaianBebaskan segera Presiden beserta pemimpin lainnya yang ditawan sejak 19 Desember 1948Memberikan perintah pada Komisi Tiga Negara untuk memberikan laporan tentang suasana di Indonesia sejak peristiwa 19 Desember 1948Penolakan dari tindakan agresi militer yang dilakukan oleh Belanda tidak hanya berasal dari PBB saja, tetapi negara federasi bentukan Belanda pun tidak mendukung atas apa yang dilakukan negara Belanda. Selain itu, pihak Amerika Serikat juga memberikan kecaman terhadap Belanda. Pada puncaknya, diadakanlah perundingan yang sangat terkenal, yaitu Perundingan Roem-Royen yang bertujuan untuk diberlakukannya gencatan senjata antara kedua belah pihak, yaitu antara Belanda dan Indonesia.

Itulah sekilas sejarah terkait perang gerilya. Memang jalan cerita Indonesia menggapai kemerdekaan sangatlah panjang dan tidak mudah. Maka, sebagai generasi penerus, sudah selayaknya kita mengisi kemerdekaan ini dengan hal-hal yang positif. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak