Novel Sketsa Gaza: Melihat Gambaran Konflik Agama dan Kemanusiaan

Hernawan | Sam Edy Yuswanto
Novel Sketsa Gaza: Melihat Gambaran Konflik Agama dan Kemanusiaan
Novel Sketsa Gaza (DocPribadi/SamEdy).

Berdasarkan catatan yang saya peroleh melalui laman NU Online, hingga tahun 2017, pendudukan Israel atas Palestina telah berlangsung selama 50 tahun. Pelanggaran demi pelanggaran terus dilakukan oleh Israel. Warga Palestina dipersekusi, diusir, bahkan dibunuh. Semua aktivitas warga Palestina juga diawasi oleh Israel. 

Semuanya diatur oleh Israel seperti suplai air, makanan, dan kebutuhan lainnya. Bahkan untuk pindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya pun, warga Palestina harus mengantongi izin dari Israel. Tak heran bila dunia internasional lantas mengecam dan mengutuk apa yang dilakukan Israel. Bila ditelisik, konflik yang terjadi antara Palestina-Israel itu bukan hanya soal agama, tapi juga kemanusiaan (NU Online, 2/11/2017).

Ada banyak cara yang dapat dilakukan oleh para penduduk dunia, termasuk kita, untuk membantu warga Palestina dalam memperjuangkan hak-haknya yang tertindas. Misalnya, lewat doa yang bisa dilantunkan setiap saat dan juga bantuan berupa materi dan tenaga yang bisa dikirimkan ke sana. Bisa juga melalui tulisan-tulisan yang dapat menggugah hati orang-orang agar peduli dengan penderitaan yang telah lama dialami oleh warga Palestina. 

Novel berjudul Sketsa Gaza karya Kirana Sulaeman misalnya. Dalam novel yang dilandasi riset yang cukup akurat ini, Kirana berusaha memaparkan kondisi rakyat Palestina. Ia menggambarkan warga Palestina yang kebebasan dan tanah kelahirannya ditindas secara semena-mena oleh kaum Israel.

Dalam novel ini, Kirana menampilkan tokoh utama seorang gadis bernama Nisreen yang begitu bersemangat ikut memperjuangkan Gaza; tanah kelahirannya. Terlebih saat kecil, Nisreen pernah mengalami kejadian yang begitu menyedihkan. Ia menyaksikan ayahnya tewas mengenaskan akibat dadanya terkena peluru Israel. Sebelum tewas, ayah sempat membopong dan membawa pergi untuk menyelamatkan putrinya tersebut.

Ayah Nisreen sebenarnya adalah orang Indonesia. Dulu, ayah datang ke Gaza tahun 1998, tepat dua tahun sebelum Intifada Kedua berkecamuk. Saat itu, ayahnya Nisreen masih berstatus mahasiswa Al Azhar, Kairo. Ayah sengaja datang untuk menjadi penerjemah sebuah NGO perdamaian dari Amerika Serikat. Sejak saat itu, ayah tak pernah kembali lagi ke Kairo. Ia juga tak pernah kembali ke Indonesia; tanah kelahirannya.

Ayah akhirnya menetap di Gaza. Mungkin karena ia telah menemukan tujuan hidupnya di sana. Bersama aktivis perdamaian dari berbagai negara, ia mengikuti berbagai aksi demonstrasi damai, menjadi perisai hidup menghalangi buldozer-buldozer Israel yang hendak menghancurkan rumah-rumah di Rafah. Namun, biasanya buldozer terus merangsek dan para aktivis terpaksa menghindar dan menyaksikan rumah-rumah itu hancur seiring jerit tangis para pemilik rumah.

Aktivitas ayah di NGO itulah yang mempertemukannya dengan Jiddo, kakeknya Nisreen. Keteguhan ayah bertahan di tengah nestapa di negeri asing, membuat Jiddo terharu dan jatuh suka. Pada saat itu, Jiddo memiliki satu putri yang belum menikah. Singkat cerita, akhirnya ayah pun dinikahkan oleh Jiddo dengan putrinya (halaman 76).

Setelah ayah meninggal akibat terkena peluru Israel, Nisreen hidup bersama ibunya. Kepergian ayah menimbulkan luka yang teramat dalam di hati ibu. Ibu kerap menangis saking sedihnya. Tak hanya ibu tentu saja, Nisreen juga sangat bersedih kehilangan sosok seorang ayah. Namun, setidaknya ia berharap dapat menolong ibunya menyembuhkan luka akibat ditinggal pergi untuk selamanya oleh suami tercinta.

Ketika tumbuh menjadi gadis remaja dan berstatus mahasiswi, Nisreen pun kian giat memperjuangkan hak-haknya sebagai warga Palestina yang selama ini sangat terzalimi dengan kesemena-menaan Israel. Namun, ia memilih tak ikutan berdemo sebagaimana para mahasiswa lainnya. Bagi Nisreen, turun ke jalan, berdemo, berhadapan dengan tentara Israel bukan satu-satunya cara untuk menunjukkan kecintaan terhadap bangsa. Nisreen lebih memilih bergabung dengan para relawan seperti relawan lingkungan (halaman 36).

Kisah Nisreen dalam buku ini semakin bertambah seru ketika muncul dua sosok pria yang memiliki daya pikat luar biasa dan sama-sama ikut membantu warga Palestina. Sosok pertama adalah Michael, pemuda Kristiani, teman karib Nisreen sejak kecil hingga ia sama-sama tumbuh dewasa.

Hubungan pertemanan Nisreen dan Michael kian terasa dekat karena keduanya memiliki hobi dan frekuensi sama. Mereka sama-sama hobi baca buku dan jalan-jalan ke pantai. Sosok pria kedua yang hadir dalam kehidupan Nisreen adalah Behrouz, muslim dari Iran yang sengaja datang ke Gaza untuk menjadi relawan dan bergabung bersama Nisreen.

Meski novel ini mengambil setting kehidupan di Palestina yang sarat penderitaan, tetapi penulis begitu piawai meraciknya dengan bahasa yang tidak kaku, sehingga terasa enak dibaca serta mudah dipahami.

Dalam endorsement-nya, Hilmi Dhiyaul Haq, koordinator Youths Empathy and Solidarity (YES) Indonesia, berkomentar positif tentang buku ini: “Sketsa Gaza melukiskan kondisi Gaza dengan sudut pandang yang unik dan bahasa yang ringan”.

Novel yang baik menurut saya dapat ditandai dengan pesan-pesan positif atau hikmah bagi para pembaca. Salah satu pesan positif dalam buku ini adalah tentang pentingnya berbagi dengan sesama meski memiliki keyakinan (agama) yang berbeda. 

***     

*Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen. 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak