Perjuangan Menjemput Keturunan, Ulasan Memoar I am Sarahza

Hernawan | Thomas Utomo
Perjuangan Menjemput Keturunan, Ulasan Memoar I am Sarahza
I am Sarahza (Dokumentasi pribadi/Thomas Utomo)

Kebanyakan pasangan suami-istri, berharap mendapatkan keturunan, sebagai bukti jalinan cinta serta jembatan penghubung kasih dua insan manusia. Namun, tidak semua pasangan yang mendamba keturunan, dapat menjemputnya dengan mudah.

Ada yang mesti menunggu berbilang tahun, dibungai berbagai ikhtiar tambahan. Ada pula yang melancarkan ikhtiar bertubi, tetapi tak kunjung menuai hasil. Inilah yang terjadi dengan pasangan Hanum dan Rangga, tokoh utama memoar I am Sarahza.

Mulanya, Hanum-Rangga menikah tanpa dibebani pikiran harus segera menimang buah hati. Bahkan, di tahun kedua pernikahan, Hanum berujar kepada Rangga,

“Mas ... aku tidak akan mengorbankan apa yang sudah aku raih sekarang ini hanya, ehm ... hanya demi punya anak.”

Lebih lanjut, Hanum berkata, “Buatku nggak punya anak juga nggak papa.” (halaman 59).

Hanum memilih fokus mengejar karier sebagai reporter cum presenter berita di televisi. Rangga yang mendapat beasiswa doktoral dari Vienna University of Economics and Business berangkat ke Austria. Keduanya pun menjalin long distance marriage.

Harapan Hanum tercapai. Kariernya semakin melejit, tapi kehidupan pribadinya di ambang poranda. Suami jauh di negeri seberang. Pernikahan mereka, entah bagaimana nasibnya. Mungkin, sekadar status di dokumen.

Lewat diskusi dengan ibunda, Hanum memutuskan resign dari dunia pertelevisian. Dia menyusul suami ke Austria, memilih menjadi ibu rumah tangga “saja”. 

Di sinilah, Hanum digerogoti kehampaan menjadi-jadi. Dia melulu berkutat di rumah. Pekerjaan formal tiada. Prestasi kerja, apalagi. Nol besar! Anak? Tak ada dalam ayunan.

Perkara anak ini, kemudian membetot perhatian Hanum. Makin lama, makin besar. Dia yang sempat menolak punya anak (dan yang dikhawatirkan Rangga, keinginan itu diaminkan malaikat) berangsur-angsur merindu damba: anak kandung pengikat cinta keluarga. Tetapi harapannya hanya membentur tembok kosong.

Cara “manual” tak kunjung membuahkan hasil. Cara-cara medis berbasis sains, disokong teknologi paling mutakhir, dicoba. Tidak cuma sekali-dua. Puluhan terapi, tusukan jarum suntik, sayatan pisau operasi, berkali inseminasi dan bayi tabung, dijajal. Dilengkapi doa-doa, berharap Tuhan berkenan mengabulkan.

Nyatanya, tetap tak ada hasil, meski teknologi paling modern dan biaya ber-digit fantastis, digelontorkan. Hanum kian terpuruk, tenggelam dalam sesal. Rangga demikian pula, walau selalu menampakkan optimisme di hadapan istri.

Pelan-pelan, Hanum berubah kepribadian lantaran diterpa badai depresi. Tetap saja, takdir seolah-olah tetap tak berpihak kepada keduanya.

Membaca memoar ini, menambah rasa kesadaran pembaca, betapa keberuntungan akan selalu berpihak kepada orang-orang yang setia memelihara sabar. Kebahagiaan bakal mendatangi orang-orang yang giat menganyam syukur. Seperti janji Sang Maha, Dia melunasi permohonan hamba-Nya yang tak jemu menadahkan tangan, melangitkan pinta.

Ibarat meja prasmanan, memoar ini juga menyuguhkan beragam kandungan berharga yang dapat dicerap pembaca: tentang kekuatan harapan, kegigihan orang tua dalam menyokong anak-anaknya ketika ujian hidup deras mendera, mujarabnya kehadiran-doa-dukungan keluarga sebagai support system, dan sebagainya.

Dari segi teknik penceritaan, ada tiga sudut pandang yang digunakan dalam memoar ini. Pertama, sudut pandang Hanum, kedua Rangga, ketiga Sarahza. Asyiknya, masing-masing sudut pandang menyajikan tutur dan pancaran kepribadian tokoh yang sama sekali berbeda. Pembaca diyakinkan bahwa saat bagian cerita bersudut pandang Hanum, maka memang benar-benar Hanumlah yang bercerita. Begitu pula kedua sudut pandang lainnya.

Oleh karenanya, pembaca dapat dibuat gregetan dengan kerpribadian Hanum yang keras kepala dan impulsif, namun trenyuh dengan penderitaannya kemudian.

Demikian, pembaca dapat “jatuh hati” dengan cara-cara unik Rangga guna mendongkrak semangat dan optimisme sang istri. Kepribadian Rangga seperti pantulan slogan Pegadaian: menyelesaikan masalah tanpa masalah. 

Maka tak heran, di berbagai ulasan mengenai buku ini, baik di media sosial atau Goodreads, akan ditemui komentar-komentar pembaca yang takjub bahkan klepek-klepek dengan cara-cara Rangga menopang kerapuhan Hanum. 

Ada lumayan banyak pembaca perempuan yang berharap bisa dapat suami seperti Rangga. Katanya, Rangga benar-benar tipikal suami pengayom, idaman kaum Hawa.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak