Da Conspiracao merupakan sekuel dari De Winst dan De Liefde. Novel berketebalan 632 ini mengambil latar waktu tahun 1930-an.
Isinya menceritakan kehidupan Rangga Puruhita, bangsawan Surakarta, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Leiden, yang diasingkan Pemerintah Hindia-Belanda ke Ende, Nusa Tenggara Timur. Penyebab pengasingan itu, Rangga dianggap melakukan tindakan subversif. Uraian lengkap mengenai pangkal-mula kejadian ini, dapat dibaca di novel De Winst.
Di masa kedatangan Rangga ke pulau tersebut, baru saja terjadi alih kekuasaan dari Portugis ke Belanda. Kondisi masih labil. Perompak dan perampok bersimaharajalela. Perlawanan raja-raja kecil atau mosalaki terhadap kekuasan Belanda, membuat suasana semakin sukar terkendali.
Lingkungan bersituasi seperti itulah yang menjadi tempat tinggal baru bagi Rangga. Dia sendiri di tempatkan di sebuah rumah buruk rupa, dikawal seorang KNIL yang amat memuja Sri Ratu Belanda.
Tokoh utama baru yang dimunculkan Afifah Afra adalam novel ini adalah Tan Sun Nio, gadis Tionghoa, lajang, kaya raya. Dia mewarisi maskapai dagang Pek Liong dari kakak laki-lakinya yang mati dibunuh Bevy de Aguia Leste, kawanan perompak penguasa Laut Flores.
Perniagaan utama maskapai dagang tersebut adalah jual-beli candu.
Pada itu, candu memang menjadi komoditas utama guna menopang pemasukan kas Kerajaan Belanda di Nusantara yang melompong karena terus digelontorkan untuk menumpas pemberontakan terus-menerus.
Kelak, Rangga dan Tan Sun Nio bertemu. Dari benturan perselisihan, tumbuh benih-benih asmara di antara keduanya. Mereka pun sepakat menikah, kendati Rangga sudah menikahi Everdine Kareen Spinoza sebelum dirinya dibuang ke Ende (baca De Winst).
Namun hubungan keduanya terhalang konflik pendirian Republik Flores Raya yang kemudian melahirkan chaos dan pembunuhan sejumlah sosok penting di Nusa Tenggara.
Novel bergambar sampul kapal layar ini, memuat konflik yang cukup rumit. Selain dua tokoh utama tadi, ada tokoh-tokoh lain, berlatar belakang heterogen. Masing-masing “menyumbang” masalah yang membuat laju cerita, semakin seru.
Kelebihan novel ini, antara lain, informasi sejarah dan muatan multikultural di dalamnya.
Sedikit yang cukup mengganggu adalah kurang konsistennya penggunaan sudut pandang penceritaan. Di satu sisi, Rangga Puruhita dan Tan Sun Nio menjadi narator secara bergantian, tapi di sisi lain malah muncul kata “nya” dan “dia” dalam paparan narasi. Padahal kedua tokoh sedang menceritakan dirinya sendiri.
Namun demikian, novel ini dapat diandalkan menjadi alternatif bacaan buat anak muda yang tertarik menyusuri lekuk sejarah bangsa tanpa perlu dipusingkan keformalan buku teks sejarah di bangku sekolah.