Bridgerton Season 2: Kebimbangan di Antara Hasrat dan Status Sosial

Hernawan | Wahid Kurniawan
Bridgerton Season 2: Kebimbangan di Antara Hasrat dan Status Sosial
Scene Anthony and Kate (Twitter)

Lampu sorot itu masih diarahkan ke keluarga Bridgerton. Setelah musim yang lalu kesuksesan dicapai oleh sosok Daphne (Phoebe Dynevor) yang berhasil menikahi Simon atau Duke of Hastings (Regé-Jean Page), kini perhatian utama dari season kedua ini ditujukkan pada kakaknya, Anthony (Jonathan Bailey).

Kita tahu, di musim yang lalu, sosok Anthony hanya menjadi bayang-bayang, sebab kisahnya sekadar diceritakan dengan sejumlah fakta: Ia pria tertua keluarga Bridgerton, sosok yang mengedepankan akal, dan kesulitan dalam menjalin hubungan yang serius. Kelana cintanya di musim yang lalu tidak lebih dengan menghabiskan malam dari satu ranjang ke ranjang lainnya. Terlebih, kisah cintanya dengan seorang penyanyi opera yang kandas membuat kita berpikir kalau kisah Anthony hanya sisipan semata. Namun, siapa yang menyangka kini ia mendapatkan panggung utama?

Penonton setia series ini tentu bakal dibuat menantikan kelanjutan kisahnya itu. Rilis sejak 25 Maret yang lalu, Bridgerton pun langsung menduduki peringkat ketiga sebagai series berbahasa Inggris terpopuler. Perhitungan itu yang mestinya didasarkan sejak 28 hari setelah dirilis, pun hanya ditembus sejak 17 hari perilisannya.  Kesuksesan itu bisa dimaklumi, sebab season dua ini menampilkan konflik yang jauh berbeda dan banyak melibatkan permainan emosi di banyak karakternya.

Dari kisah cinta utama, yaitu drama romansa tokoh Anthony, penonton mendapati batin Anthony dipilin-pilin di antara dua kakak beradik yang datang dari India, yaitu Nona Edwina Sharma (Charithra Chandran) dan Nona Kathani Sharma (Simone Ashley). Untuk apa mereka datang ke London? Tentu, kedatangan mereka dimaksudkan untuk berpartisipasi dalam ajang pencarian jodoh musim ini. Dan, kita tahu, kedatangan dua gadis itu demi satu misi jelas: mendapatkan jodoh untuk Nona Edwina, dengan sosok Kathani yang menjadi kakak yang mesti ditaklukan oleh para laki-laki yang hendak mempersunting Nona Edwina.

Bisa ditebak, segalanya pun berjalan secara tidak lancar. Kita mengingat pasangan di musim yang lalu, Daphne dan Simon, yang berkisar pada kisah cinta yang diawali skandal. Pada musim ini, keberadaan skandal terasa tidak cukup, sebab konflik yang ada di dalamnya berkembang lebih dari itu. Status dan hasrat menjadi dua hal yang dimainkan. Berpilin dan tarik-menarik dalam diri para tokohnya.

Dalam diri Anthony, statusnya sebagai anak pertama dengan sejumlah tanggung jawab keluarga membuatnya memandang pernikahan sebatas tuntutan sosial yang mesti dipenuhi. Anthony mencari calon istrinya didasarkan pada hal-hal materil: cakap menjadi ibu, berpikiran terbuka dan luas, pandai berkomunikasi, dan memenuhi kriteria lainnya yang kelewat tinggi. Dan satu hal yang pasti, Anthony tidak menyertakan hal penting dalam sederet kriterianya itu. Ya, Anthony tidak peduli dengan cinta atau apa pun yang berdasarkan pada perasaan dan hasrat. Penilaian yang berlandaskan logika menjadi dasar dari setiap keputusan dan pilihan yang diambilnya.

Pengabaian atas perasaan, terutama cinta ini, justru menjadi bumerang sendiri baginya. Kita tahu, pernikahan bukan sebatas ajang menemukan kecocokan berdasarkan sejumlah kriteria tertentu—yang beberapa hal sering dipengaruhi dari tuntutan, tanggung jawab, dan ekspektasi orang-orang sekitar. Namun, juga mesti dilandaskan pada apa yang dikatakan adik Anthony, Daphne, sebagai “cinta sejati”, yaitu gejolak yang kaurasakaan atas seseorang hingga tidak sekalipun pikiran dan pandanganmu berpaling darinya, tidak sejenak pun waktu terasa berharga tanpa menghabiskan waktu atau berdekatan dengannya, dan tidak terhitung lagi siang dan malam terlewat tanpa memimpikannya. Sayangnya—atau menariknya, Anthony justru merasakan gejolak itu terhadap gadis yang tidak sepatutnya menjadi objek dari hasrat dan cintanya. Apalagi, gadis itu juga merasakan hal yang sama.

Siapa gadis itu sebenarnya? Yah, kita mengenalnya sebagai salah satu dari dua gadis yang datang dari India itu. Dan baik Anthony ataupun si gadis menganggap kalau perasaan itu bukan sesuatu yang tepat, tetapi lebih ke hal yang tidak seharusnya ada dan mereka harus menolaknya, mengenyahkannya sejauh mungkin, sehingga mereka bisa kembali bisa melihat kenyataan di sekitar mereka dan kembali pada agenda yang telah direncanakan sejak awal. Namun, siapa yang bisa menahan gejolak sebesar itu—yang, bahkan kata “besar” pun terkesan tidak cukup tepat untuk menggambarkannya? Maka, di sinilah tarik-menarik antara kesadaran akan status dan tanggung jawab berpilin bersama hasrat menggebu yang makin tidak bisa terbendung. Pertanyaannya, manakah yang menang?

Seperti yang disebutkan di awal, Bridgerton musim ini memang menawarkan sesuatu yang sedemikian berbeda dengan musim sebelumnya. Dengan datangnya dua dara menawan dari India yang mewarnai panggung pesta dansa di kota itu, dengan tuntutan untuk hendak menikah dalam diri Anthony, dengan kembalinya tokoh Colin dari petualangannya, dengan pemikiran radikal atas masyarakat yang dimiliki Eloise dan rasa penasarannya terhadap Lady Whistledown yang semakin menggebu-gebu, dengan gossip Lady Whistledown yang makin membuat Sang Ratu sebal, sampai dengan sejumlah hal dan rahasia antartokohnya yang dibuka perlahan-lahan; jelas membuat konflik dalam musim ini tidak hanya terkesan ramai, tetapi juga kuat dan rapat. Emosi penonton sangat mungkin ikut dipilin-pilin atas beberapa adegan yang menghadirkan efek yang beragam: suatu kali kita dibuat tertawa, tersentuh, atau merasakan kehangatan yang sarat; tapi di kesempatan lain benak kita ditusuk adegan yang ampuh membuat air mata menetes. 

Dari situ, jelas kalau series Bridgerton musim kali ini tidak sebatas menampilkan wajah Inggris akhir zaman Georgia yang melabeli terpandang atau tidaknya sebuah keluarga dari keberhasilan mereka membuat anak mereka mendapatkan jodoh yang pantas, atau soal betapa jelasnya pandangan sosial atas statusmu sedemikian mencengkram erat kehidupanmu; tetapi, juga soal bagaimana watak orang-orang zaman itu terbentuk dengan seberagam macam topeng yang dikenakan, atau dengan segenap tipu daya yang dilakukan demi sebuah status yang barangkali membuatmu membusungkan dada keesokan harinya. Selain itu, tentu saja, soal bagaimana mereka terjebak dalam pilinan hasrat dan status yang tak pernah mudah untuk ditaklukan.  

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak