Rose of Versailles: Romantika Menjelang Pecahnya Revolusi Prancis

Hayuning Ratri Hapsari | Thomas Utomo
Rose of Versailles: Romantika Menjelang Pecahnya Revolusi Prancis
Rose of Versailles (Dokumentasi pribadi/Thomas Utomo)

Rose of Versailles (atau Berusaiyu no Bara) adalah komik sejarah karya Riyoko Ikeda yang paling bersinar. Mula-mula, komik ini muncul secara berseri di Margareth Comics, salah satu majalah shoujo (majalah komik khusus gadis).

Tanggapan pembaca yang amat baik, membuat Ikeda menulis-menggambar ulang komik ini, kemudian membukukannya lewat Shueisha Inc. Tanggapan selanjutnya, malah semakin luar biasa.

Rose of Versailles menjadi komik-untuk-gadis pertama yang menempati tangga puncak penjualan, tidak hanya di Jepang, tapi juga di negeri manca.

Komik yang dibuat sebelum tahun 1970 ini, menuturkan kisah tiga tokoh utama, yakni Marie Antoinette, Hans Axel von Fersen, dan Oscar Francois de Jarjayes.

Antoinette adalah putri bungsu Marie Theresse atau Maria Theresia, Ratu Austria. Dia dinikahkann dalam usia sangat muda dengan Louis XVI, calon Raja Prancis guna mengeratkan hubungan Prancis-Austria.

Sedari mula, Antoinette tidak suka dengan suaminya yang secara fisik, tidak menarik dan secara kepribadian, kurang menawan, karena tidak pandai bergaul serta lebih suka membuat kunci.

Antoinette yang bosan, kemudian menghabiskan waktu dengan berpesta pora hingga pagi, berjudi, dan bermain api cinta dengan Fersen. Kelak, anak Antoinette didesuskan lahir dari hubungan gelap dengan Fersen.

Fersen adalah bangsawan Swedia yang menetap sementara waktu di Prancis sebagai pelajar. Dia dan Antoinette bertemu dalam satu pesta topeng. Waktu itu, usia keduanya masih sama-sama remaja.

Tampilan lahiriah dan kepribadian Fersen, memikat Antoinette sedemikian rupa, membuatnya tergila-gila.

Oscar, pengawal pribadi Antoinette, bukan tidak tahu api cinta yang tersulut di antara sang ratu dengan bangsawan Swedia. Sebisa mungkin dia berusaha mencegah, tapi keduanya, terlalu keras dalam mengukuhi hubungan cinta di belakang layar.

Oscar sendiri adalah perempuan pertama yang didaulat menjadi pasukan pengawal anggota kerajaan. Dia bungsu dari tujuh bersaudara, semuanya perempuan. Sejak kecil, ayahnya mendandani dia menjadi pria, semata demi bisa menjadi pasukan utama kerajaan.

Diam-diam, Oscar menyukai Fersen, namun tak berani mengungkapkan. Di sisi lain, Andre, teman sekaligus anggota pasukan yang dipimpin Oscar, jatuh cinta mati-matian kepadanya. Tapi hubungan keduanya terhalang status sosial yang terlampau jauh.

Hubungan Antoinette-Fersen-Oscar-Andre diombang-ambingkan ketidakpastian seiring kondisi Prancis yang kian tak menentu akibat kemerosotan ekonomi dan gonjang-ganjing politik.

Penyebabnya jelas, Ratu Antoinette terlalu pemboros. Dia menghambur-hamburkan kas negara hingga tak bersisa untuk urusan yang kerap kali remeh temeh (bahkan ketika putra mahkota meninggal, Prancis tidak mampu menggelar upacara pemakaman lantaran ketiadaan dana). Sedangkan Raja Louis XVI tidak punya ketegasan dan nirwibawa.

Rakyat yang awalnya mengelu-elukan Antoinette, perlahan tapi pasti, mulai membencinya. Politikus tertentu memanfaatkan keadaan tersebut dengan menyebarkan berita-berita palsu guna menggosok kebencian rakyat semakin runcing.

Dan ketika pecah Revolusi Prancis yang bertujuan menghapuskan sistem kerajaan, Antoinette dan Louis XVI terpaksa lengser keprabon. Tak hanya itu, keduanya harus merelakan leher mereka dipenggal di hadapan rakyat lantaran dianggap sebagai pengkhianat bangsa.

Sedangkan Oscar yang semula ada di pihak istana, kemudian membelot. Dia dan pasukannya memilih membela rakyat dan melawan para bangsawan Prancis, kendati dia sendiri berlatar belakang bangsawan.

Oscar lalu terbunuh dalam peristiwa penyerbuan ke Penjara Bastille (yang menjadi tonggak Revolusi Prancis).

Melalui komik ini, Ikeda menggambarkan dengan gamblang dan akurat, betapa kemegahan, kedigdayaan, dan kekuasaan yang dijalankan dengan sewenang-wenang pada akhirnya bakal menggilas-menghancurkan diri sendiri.

Lewat komik ini pula, pembaca diyakinkan betapa orang-orang yang menyebut diri mereka teman namun berupaya menjerumuskan sedalam-dalamnya, lalu meninggalkan saat pihak bersangkutan tersangkut kasus, sejatinya hanya kaum oportunistik hina. Yang mereka pikirkan hanya kepentingan diri sendiri, lain tidak.

Kedua hal tersebut di atas, amat relevan kaitannya dengan kepemimpinan suatu negara, dulu, sekarang, dan masa mendatang.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak