Hidup ini laksana sebuah kompetisi. Tentu dalam berkompetisi hendaklah dengan acara-cara sehat, bermartabat, jujur, sportif, dan elegan. Sebab, hanya dengan cara-cara ini, kompetisi akan berjalan baik serta pada gilirannya akan membawa kebaikan dan kemanfaatan bagi diri sendiri dan sesama.
Sayangnya, yang lebih mengemuka dan mewarnai kehidupan kita adalah kebalikannya. Kompetisi atau persaingan yang banyak dipertontonkan hari ini adalah sebuah persaingan tidak sehat, persaingan yang dilakukan dengan cara-cara kotor, licik, culas, dan penuh dusta. Tidak jarang saling jegal dan menjatuhkan.
Banyaknya pemalakan dan penodongan di jalan, banyaknya pejabat bahkan aparat penegak hukum yang terseret kasus korupsi, para pedangan dan pemilik modal yang menimbun barang kebutuhan pokok, serta maraknya politik uang dan kampanye hitam di tiap gelaran pemilu adalah sebagian buktinya. Persaingan model ini pada gilirannya hanya akan menghasilkan konflik, permusuhan, dan kesengsaraan.
Dalam masyarakat Jawa ketika kompetisi sudah sedemikian tidak sehatnya, kita dianjurkan untuk berani mengalah dengan berpegang teguh pada filsafat Wani Ngalah Luhur Wekasane (siapa yang berani mengalah akan mulia pada akhirnya).
Tuntutan mengalah dimaksudkan untuk menciptakan ketentraman dan kedamaian. Sikap ini dapat menjaga tatanan sosial menjadi lebih baik, sekaligus menghindari konflik. Orang yang mengalah akan mengesampingkan ego pribadi demi kebahagiaan orang lain. Memang sepintas sikap ini merugikan namun pada gilirannya akan mendatangkan kemulian.
Konon filsafat Wani Ngalah Luhur Wekasane merupakan bagian dari tembang Mijil gubahan Sunan Kudus (Jafar Shadiq) yang digunakan untuk berdakwah dengan pendekatan budaya lokal. Dalam buku Wani Ngalah Luhur Wekasane; Jalan Kembali Seorang Muslim, Abu Azzam mencoba membedah makna filsafat tersebut serta menunjukkan bagaimana penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Abu Azzam menekankan bahwa ungkapan wani ngalah luhur wekasane harus dipahami dalam konteks rendah hati, sekaligus menghindari keburukan, perseteruan, dan pertikaian. Ini penting agar konsep hidup ngalah tidak dipahami sebagai sikap kalah atau pun menyerah. Karena itu, bila konflik sudah tidak dapat dihindari, harus tetap dihadapi dengan sikap kesatria. Tidak boleh melarikan diri atau lari dari tanggung jawab.
Menurut Achmad Sri Wintala (2016: 55), mengalah tidak dilakukan dalam segala situasi, namun dalam rangka membentuk kepribadian rendah hati. Sayangnya dalam praktik sehari-hari, sikap mengalah sering kali disalahpahami sebagai sikap indiferen (membiarkan hal yang tidak baik) (hal. 13).
Selanjutnya Abu Azzam memaknai ungkapan Wani Ngalah Luhur Wekasane dari sisi spiritualitas Islam. Bagi Abu Azzam ungkapan tersebut juga dimaknai bahwa siapa saja mau kembali kepada Allah SWT.
Dalam hidupnya di dunia, maka ia akan mulia hidupnya di akhirat. Jadi, konsep hidup ngalah ini menjadi tuntutan setiap orang muslim dalam menjalankan kedudukannya sebagai seorang hamba/abdi sekaligus khalifah di bumi. (hal. 19).
Asal wani ngalah, siapa pun kita akan mendapatkan hasil luhur di kemudian hari. Inilah jalan kembali kepada Tuhan yang tidak akan tersesat, tidak akan salah jalan.